Sabtu, 31 Mei 2008

Pendidikan Dalam Perjalanan Waktu

Ketika orang berbicara masalah pendidikan maka yang terpikir adalah masalah teory pendidikan itu sendiri, methodenya, administratisinya, atau problem-problem didalamnya. Hal tersebut tentunya menjadi porsi para ahli dibidangnya. Sebagai orang awam yang bisanya sekedar mengamati, ingin mencoba menelusuri perjalanan sejarah panjang dari pendidikan itu sendiri, baik secara formal atau non formal.

Telah dipahami oleh para pendidik bahwa misi pendidikan adalah mewariskan ilmu dari generasi ke generasi selanjutnya. Ilmu yang dimaksud antara lain: pengetahuan, tradisi, dan nilai-nilai budaya (keberadaban). Secara umum penularan ilmu tersebut telah di emban oleh orang-orang yang terbeban (concern) terhadap generasi selanjutnya. Mereka diwakili oleh orang yang punya visi kedepan, yaitu menjadikan generasi yang lebih baik dan beradab. Peradaban kuno mencatat methode penyampaian ajaran lewat tembang dan kidung, puisi ataupun juga cerita sederhana yang biasanya tentang kepahlawanan.

Maka tidak heran bila pada awal pendidikan digeluti oleh tokoh-tokoh agama. Seperti yang terjadi di Mesir kuno (sejak abad 30 SM ), atau jauh sebelumnya di Sumeria (Iraq utara dimana disana cerita taman Eden bermula). Sumber ilmu pengetahuan mereka adalah dari ajaran turun temurun seperti yang termuat dalam kitab Taurat, kitab Talmud, dan kitab-kitab kuno lainnya. Di India tepatnya di lembah Indus, pendeta Hindu lewat kitab Veda-nya (1200 SM) mengajarkannya kepada generasi penerus isi kitab-kitab tersebut. Budha (483 SM) juga banyak memperbaharui kondisi sebelumya, dan yang kemudian ajaran Budha menyebar kedaerah China. Namun sebelumnya Cina mencatat pengaruh dari Confucius, Laozi (Lao-Tzu), dan filusuf lainnya (770-256 SM). Dibelahan Eropa cikal bakal pendidikan lewat pemikir-pemikir yang sangat kental dipengaruhi kepercayaan Yunani kuno melalui cerita-cerita semacam Iliad, Odyssey dll (sekitar abad 8 SM). Namun sejak jamannya Socrates, Plato, Aristoteles, Isocrates, dan bolo-bolonya, ada perubahan mendasar dalam konsep pendidikan.

Socrates (400 SM) menekankan prinsip-prinsip universal dalam pengajarannya melalui kebenaran, keindahan, dan kebaikan secara umum, dan diajarkan melibatkan kesadaran anak didiknya. Plato sebagai murid Socrates melanjutkan prinsip ini dan juga menjadi orang pertama mendirikan sekolahan secara institusional (Academy). Plato juga tokoh matematika fanatik, sampai-sampai menulis kalimat ‘Let no one ignorant of mathemathics enter here’ dipintu gerbang sekolahannya. Aristoteles sebagai murid Plato mengembangkan prinsip rasional dimana hal ini adalah penting dalam pendidikan. Melalui prinsip ini manusia bisa melihat phenomena alam dan memahami hukum-hukum alam. Alasan lain adalah untuk dapat menangkis pendapat para ekstremis yang cenderung tidak rasional.

Secara institusional Yunani (tepatnya Yunani utara) bisa dibilang lebih maju berpikir. Karena menjadikan pendidikan sarana untuk mempersiapkan generasi muda menjadi calon pemimpin dibidang pemerintahan atau masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut mereka menekankan pengajaran dibidang seni, beberapa cabang filsafat, pertanian, pengembangan creativitas dan juga kesegaran jasmani. Walaupun kemudian ada pergeseran arah dikemudian hari, Plutarach lebih melihat bahwa pendidikan bagi orang dewasa adalah lebih penting dari pada anak-anak. Isocrates meletakkan dasar prinsip-prinsip kepemimpinan, yang kemudian ajarannya sangat mempengaruhi pendidikan di Romawi.

Lain lagi dengan apa yang dilakukan orang Romawi abad pertama, mereka lebih mementingkan keorganisasian. Sehingga pelajaran pidato, penguasaan masa, pengembangan kebribadian dianggap paling penting pada jaman itu. Mulailah pelajaran bahasa menjadi popular bersamaan dengan system organisasi yang lebih baik, keteknikan lebih maju. Arus informasi tentunya lebih maju dengan baiknya pengorganisasian. Quintilian patut dicatat sebagai pendidik yang mulai melihat perlunya pemilahan pendidikan berdasarkan perkembangan mental muridnya. Methode yang diterapkan di Romawi ternyata cukup baik bagi upaya Romawi menjadi penguasa tunggal saat itu. Pendidikan dijadikan alat kekuasaan dan memperlebar daerah kekuasaan.

Faktor keagamaan semakin berperan dalam perjalanan pendidikan terutama sebelum abad sepuluh dan setelah runtuhnya kekuasaan Romawi. Terutama sekali di belahan barat dimana bengaruh Yahudi dan Kristen (khususnya Roman Katolic) cukup besar. Pendidikan dilakukan dibiara-biara dan diajarkan oleh monk (pendeta yang mengkususkan dalam pelayanan terhadap sesama). Namun tidak dipungkiri pula dalam perjalanannya peran agama seolah membodohi masyarakat saat mana agama dipakai penguasa sebagai alat mempertahankan kekuasaannya.

Diabad 5, dimana mulai dibuat texbook untuk masing-masing pengetahuan dalam satu koleksi (yang dikenal dengan seven liberal art), pendidikan masih sekitar itu-itu saja tanpa mengalami perubahan berarti. Walaupun kelembagaan pendidikan lumayan berkembang bersamaan pengabaran agama itu sendiri. Barangkali Raja Alfred (England abad 9) termasuk orang yang sangat peduli dibidang pendidikan, dengan mendorong berdirinya banyak biara-biara (sekolahan dulu dilakukan dibiara) dan pembikinan kurikulum yang lebih mapan. Ini juga terjadi di Itali (Salerno), Jerman, di Spanyol, England (Oxford College – 1249), Paris (Sorbone-1253). Dan tentunya ditimur juga serius mengelola sekolahan. Seperti dicatat Al-Azhar University didirikan ditahun 970, disamping Al-Qarawiyin di Maroco (859). Pada abad pertengahan ini banyak terjadi saling tukar informasi pola barat dan timur, yang tentunya saling menguntungkan. Dimana hal ini juga menjadi factor utama munculnya faham humanisme dan renaissance (kelahiran kembali).

Pada jaman selanjutnya (abad 13-15) terjadi perubahan yang yang sangat mendasar, pendidikan lebih melihat pada pentingnya humanisme dari pada masalah keagamaan, atau pengetahuan faham Yunani ataupun masalah Latin klasik Kemudian hari faham ini menjadi awal terbentuknya sekularisasi. Gerakan kelahiran kembali ini dimulai dari arah Itali yang kemudian begitu cepat menyebar di belahan Eropa. Ditandai dengan perubahan-perubahan mendasar dibidang seni arsitektur dan literature. Desiderius Erasmus patut dicatat sebagai tokoh yang melihat bahwa pengajaran secara liberal adalah pilihan yang tepat, memahami maksud suatu literature adalah lebih berguna dari pada menghafal. Maka mulailah pelajaran sejarah, perbintangan, mythology, arkeologi, scripture, diajarkan bukan untuk dihafal.

Ditemukannya alat cetak (Johanes Gutenberg) di abad 15 juga menjadi pendorong perubahan dibidang pendidikan. Hal lain yang sangat baik diabad ini adalah adanya perhatian terhadap hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan secara formal di sekolah umum. Ditahun 1640, di London tercatat 80% wanita adalah buta huruf.

Bagaikan bola salju yang menggelinding Renaissance membawa angin perubahan dibidang agama, dengan terjadinya reformasi agama (Kristen) oleh John Calvin, Martin Luther dan Huldreich Zwingli diawal abad 16. Tentunya hal ini sangat besar pengaruhnya terhadap perubahan pendidikan jaman itu pula. Dimana kekuasaan sentralisasi Roman Katolik tidak lagi membelenggu sektor pendidikan. Terutama sekali masalah bahasa, dan kebebasan untuk melihat sesuatu yang sebelumnya dianggap sakral. England misalnya, mulai memakai bahasa inggris untuk pengantar pengajaran. Baru pendidikan bahasa latin dan Yunani diajarkan di tingkat dua (Grammar Shoool di England, Gymnasium di Jerman). Gerakan reformasi juga telah mendorong peran keluarga dalam membentuk generasi, dimana orang tua didorong untuk mengajarkan ajaran agama dan tidak tergantung pada pemimpin agama. Martin Luther juga mendorong terjadinya produktivitas berpikir, mengajak keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan dan pemerintah saling bahu membahu menggulirkan reformasi disegala bidang (terutama agama dan pendidikan). Karena pada dasarnya agama adalah untuk kepentingan manusianya itu sendiri, bukan sebaliknya. Melanchthon teman Luther di Jerman dengan keras menekankan peran pemerintah sebagai penanggung-jawab masalah pendidikan bagi warganya (sebelumnya pendidikan banyak ditangani oleh badan keagamaan).

Namun demikian bukan berarti pihak Roman Katholik tidak mengambil inisiatip atas terjadinya angin perubahan jaman. St. Ignatius of Loyola menanggapi perubahan dengan cukup bijak, walaupun tentunya bermaksud untuk mengimbangi gerakan kaum reformis saat itu.

Pendidikan yang dinamis telah menghantarkan masyarakat dari tahap agraris menuju tahap industrialis. Dimana diabad 17 ilmu pengetahuan science menjadi perhatian umat. Royal society di London menjadi pelopor bagaimana mengembangkan basic ilmu pengetahuan natural. Barangkali Christ’s Hospital (di London) adalah sekolahan yang mengajarkan bidang science dengan memberi gelar menurut bidangnya untuk pertamakalinya. Francis Bacon adalah filosuf Inggris yang mengetengahkan pentingya pola pikir inductive. Dia mendorong murid untuk mengamati, meneliti, menguji, berdasarkan apasaja yang dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan termasuk didalamnya adalah panca indera dan akal-budi, dan yang kemudian baru membuat kesimpulan.

Abad 17 juga ditandai dengan banyaknya pemikir masalah pendidikan dibanyak negara di Eropa. Misal Wolfgan Ratke dengan metode pengajaran di bidang bahasa, Rene Descrates dengan penekanan pentingnya logika dalam berpikir, John Locke melihat pentingnya kurikulum dan metode pengajaran. John Locke beranggapan lebih baik melihat objek secara langsung daripada hanya lewat buku, missal lewat rekreasi keluar bersama, kesawah, kesungai dan diskusi disana. Adalah lebih baik makan durian dari pada mendengar enaknya buah durian. Hal ini dimaksud untuk melatih daya kritis, analisis dengan menggunakan logika yang teratur guna memperkuat akalbudinya. Karana pada dasarnya manusia ketika lahir adalah bagaikan tabula rasa. St. John Babtist de la Salle dengan seminarinya, adalah termasuk pioneer dalam mempersiapkan tenaga pengajar dengan cara yang sistimatis. Ide tersebut mengilhami Comenius untuk mengajarkan sesuatu yang konret dari pada yang verbal. August Franke seorang pendeta Lutheran (masih abad 17) memantapkan dasar-dasar teacher training, pendidikan orang dewasa, modernisasi kurikulum dan jaringan sekolahan.

Pembaharuan pendidikan merambah ke daratan Afrika, Amerika, dll, bersama dengan perubahan jaman (kolonialisme dan penjajahan).

Disamping masih terus terjadinya pembaharuan konsep, seperti Jean-Jacques Rousseau (1762) merombak konsep, bahwa anak-anak bukanlah miniatur orang dewasa. Anak-anak harus diberlakukan sebagaimana anak-anak sesuai perkembangan jiwanya. Atau tepatnya dikatakan oleh muridnya (Johann Basedow), semuanya harus kembali secara alami (jangan dikarbit biar cepat matang tapi cepat busuk pula). Mengajar anak harus juga menggunakan perasaan (memangnya anak sebagai kelinci percobaan).

Reformasi juga terjadi di belahan Amerika (1775-1783), Benjamin Franklin termasuk tokok perubahan pendidikan. Thomas Jefferson sebagai presiden yang ketiga sangat memperhatikan masalah pendidikan ini, dia beranggapan untuk membentuk masyarakat yang demokratik harus dimulai dari pendidikan. Jaman tersebut disebutkan sebagai jaman serba beralasan, karena reason adalah dasar mengungkap sesuatu yang terselubung.

Agaknya konsep Johann Pestalozzi (1746-1827) yang agak mirip dengan Rousseau patut diingat. Dimana prinsip pengajaran anak selain kembali pada perkembangan natural, menekankan pada hal yang lebih konkret, melihat hal yang dekat dahulu (keseharian), memulai yang sederhana dahulu, juga memberikan dasar bahwa sesuatu yang besar adalah kumpulan yang kecil-kecil. Atau boleh dikatakan pelajaran yang komplek sebenarnya hanyalah pelajaran yang sederhana ditambah sedikit dan yang sederhana lainnya. Untuk mengaktualisasikan hal ini dia menggunakan prinsip keseimbangan perkembangan 3 H (head, heart, dan hand).

Sedikit bergeser keabad 19, bapak kindergarten (Friedrich Froebel), meletakkan dasar pentingnya keseimbangan psikologi dan filosofi didalam pendidikan science. Dia merasa fahamnya Pestalozzi mengesampingkan factor filosofi dimana pada dasarnya anak memiliki daya pengajaran terhadap dirinya sendiri. Dia yakin bahwa anak mempunyai cahaya pencerahan bagi dirinya sendiri yang sifatnya spiritual (anak berusaha menghindari kesalahan yang sama, jadi tidak perlu setiap hari diberi tahu bahwa api itu panas). Oleh karena itu di sekolahannya (kindergarten) disamping memberi pelajaran sesuai konsepnya Pestalozzi, dia membebaskan dan merangsang anak untuk berkreasi dengan apa yang ada di sekitarnya (missal air, pasir, tanah liat, alat gambar dll). Rudolf Steiner (di Sturtgart) menyambut gagasan ini, dia sebagai seorang mistikus sekaligus filosof percaya bahwa pendidikan harus menyeimbangkan perkembangan anak secara utuh (tidak sekedar inteletualnya saja). Barangkali ini juga mendasari pemberian kebebasan anak untuk memilih ajaran agamanya dikemudian hari.

Mungkin sebagai gambaran emansipasi wanita saat itu, Elizabeth Garrett Anderson (1836-1917) patut dicatat sebagai wanita pertama meraih gelar doctor).

Herbert Spencer seorang yang terpengaruh oleh teory Darwin. Dimana dijaman industrialis saat itu, untuk menyiapkan murid yang berdaya saing kuat dan mudah beradaptasi maka pelajaran science dan pelajaran pendukungnya adalah mutlak terpenting. Atau dengan kata lain membekali murid dengan antisipasi kedepan adalah lebih penting dari pada melihat kebutuhan saat itu saja.

Pada abad 19 ini juga mulai terpikir adanya sistim pendidikan secara nasional, yang berarti ada pelajaran-pelajaran wajib untuk pelajaran yang bersifat umum. Mulailah berkembangnya sekolahan-sekolahan modern yang lebih liberal. Nampaknya Jepang juga mulai melepas dari pengasingan diri, untuk melirik cara-cara barat (reformasi budaya bukan berarti menabut akar budaya). Demikian juga Amerika Latin, tak ketinggalan pula para penjajah mulai berpikir ulang untuk menyebarkan pengetahuannya (walaupun cenderung masih bermaksud menghisap).

Diawal abad 20 Ellen Key menjadi terkenal ketika dia melontarkan gagasannya, bahwa pengajaran harus didasarkan pada kebutuhan pokok dan kemampuan murid daripada pertimbangan kebutuhan social, keinginan orang tua apalagi keinginan keorganisasian agama. John Dewey setuju, bahwa interest anak yang berbeda harus dilayani dengan cara berbeda. Maka pendidikan ketrampilan menurut bakat dan kemampuan anak menjadi penting. Karena itu perlu pengelompokan berdasarkan bakat dan keinginan (kejuruan dan ketrampilan). Ini pula yang dikembangkan oleh Maria Montessori (1907). Dia sangat berjasa dalam sumbangannya terutama untuk pendidikan dasar (yang saat ini masih sering jadi bahan acuan). Namun dibeberapa negara teori ini tidak bisa diterapkan, karena kebutuhan negara adalah lebih penting dari pada kebutuhan anak.

Diabad 20 tersebut juga sangat dipengaruhi oleh pendapat Jean Piaget yang mengamati adanya perkembangan kemampuan verbal dan berpikir lewat pengenalan dan kemampuan pembentukan konsep bagi anak, yang ternyata berbeda-beda. Maka system pendidikan perlu disesuaikannya. Dia menggolongkan perkembangan anak dalam empat tahapan. Dimana tiap tahapan harus dilalui secara natural. Sumbangan Binet dan Simon (1905) cukup penting dalam penanganan anak yang berbeda IQ. Anak yang IQ-nya 80 tidak selayaknya disejajarkan penilaiannya dengan anak yang ber IQ tinggi. Hal itu akan merusak perkembangan mental anak. Mungkin barangkali ini mendasari mengapa pada tahap pendidikan dasar metode penilaian cukup lewat laporan kemajuan anak, supaya anak tidak merasa rendah diri.

Pendidikan menjadi industri nasional, maka perlu ditata ulang dengan peraturan-peraturan nasional pula. Apalagi di Inggris ditahun 1889 sudah berdiri badan perlindungan anak (NSPCC), dimana menganjurkan anak dibawah 10 tahun harus mendapatkan pendidikan. Penataan di Inggris missal di tahun 1944 menerapkan tiga tahapan pendidikan yaitu pendidikan dasar, kedua dan pendidikan atas (higher education). Di Inggris peraturan telah mengelami beberapa perubahan sesuai perkembangan jaman, dan teori dari pendidikan itu sendiri yang berkembang. Termasuk didirikannya Universitas terbuka untuk pertamakalinya (1969) perlu ditata secara nasional.

Pengaruh suasana politik saat itu tidak bisa diabaikan. Missal di Rusia dengan partai komunisnya yang bersatu dibawah Joshep Stalin 1920 walaupun kemudian di tahun 1990 terjadi berubahan baru dibawah Michail Gorbachev. Dibelahan Eropa dengan perang dunianya, dan juga runtuhnya tembok Berlin (1989) ikut merubah system pendidikan.

Bahkan secara luas telah menjadi perhatian PBB lewat UNESCO-nya. Target utama saat itu adalah pemberantasan buta huruf dinegara-negara sedang berkembang termasuk didalamnya Indonesia.

Menengok kedalam negeri sekolah pendidikan dasar telah diperkenalkan oleh Belanda. Sekolah yang tadinya hanya untuk kalangan keturunan belanda, dengan etische politiek (kepotangan budi) di negara jajahan belanda (1870) mulai membuka sekolahan bagi kaum bumi putera (SR). Hal tersebut nampaknya juga akibat pengaruh faham humanisme dan kelahiran baru yang melanda negeri Belanda. Program utamannya saat itu mungkin hanya untuk kepentingan Belanda juga (untuk meningkatkan produktivitas ditanah jajahannya). Untuk Perguruan tinggi dimulai dengan berdirinya sekolah-sekolah kejuruan. Misal STOVIA(1902) yang kemudia berubah jadi NIAS(1913) dan GHS adalah cikal bakal dari fakultas kedokterannya UI. Lalu juga Rechts School (1922) dan Rechthoogen School (1924) kemudian melebur jadi fakultas hukumnya UI. Juga disusul beberapa fakultas lainya. Di Bandung dimana bung Karno sekolah juga berasal dari sekolah teknik THS (1920) dan di Bogor dibuat juga sekolah perkebunan (1941) adalah cikal bakal IPB sekarang.

Bila kemudian didirikan UI (1950) atau UGM (1945) adalah leburan dari yang sudah ada dan kemudian ditambahkan fakultas lainnya. Perlu dicatat pula universitas tua lainnya seperti ITB (1959), IPB (1963), Unair (1963), dan universitas swasta tertua kita adalah UII (1948). Barangkali bisa dimaklumi bahwa pendidikan di Indonesia masih sangat muda dibanding pendidikannya Plato.

Walaupun sebenarnya sejak jamannya pangeran Aji Saka (abad 3) telah diperkenalkan huruf jawa dengan mencontoh huruf di India selatan, jadi pemerintahan Jawa Dwipa sudah mengenal pendidikan. Demikian pula abad 5 pendeta Budha memperkenalkan ajarannya (tentunya mengandung unsur pendidikan. Berdirinya Borobudur boleh di anggap sebagai parameter tingginya ilmu arsitektur (diabad 8) oleh Raja Sailendra Samaratungga. Dicatat pula Candi Prambanan (Hindu) yang elok itu dibangun di abad 9 jamannya raja Sanjaya. Raja agung Airlangga (1019) boleh dianggap raja paling toleran dan melindungi umat berbeda agama (hal ini tentunya tidak terjadi sebelumnya). Tidak kurang di Indonesia juga ada ahli filosuf atau mungkin sebagai nabinya wong jowo yaitu Raja Joyoboyo (1157), siapa yang tak kenal dengan primbonnya Joyo boyo. Namun sayang selama perjalanan sejarah bangsa Indonesia selalu disertai dengan perang saudara (jauh sebelum Belanda datang, sudah cakar-cakaran, jangan hanya Belanda yang disalahkan sebagai provokator dengan politik adu kambinya, ternyata bakat ini belum hilang sampai sekarang). Bahkan Patih Gadjah Mada yang dianggap pemersatupun (dengan sumpahnya yang sakti) adalah hanya untuk penguasaan dan menunjukkan kehebatan Majapahit. Tentu ini juga berpengaruh pada pendidikan secara umum, dan sebaliknya bisa jadi pendidikan ikut mempengaruhinya. Menengok perjalanan sejarah bangsa Indonesia perlu dibahas tersendiri.

Gambaran sejarah pendidikan di Indonesia saat ini bisa dialami bersama. Dari gambaran diatas ternyata masalah pendidikan bukan sekedar tergantung pada teory dan ilmu pendidikan itu saja, tapi juga iklim social budaya dan politik ikut berperan. Namun bukan alasan untuk tidak memperbaharui kehidupan melalui pembaharuan konsep pendidikan itu sendiri. Jadi reformasi pendidikan adalah mutlak perlu dilakukan terus menerus sesuai perubahan pemahaman umat akan kehidupan itu sendiri. Dimana Peter Drucker melihat pergeseran kebutuhan manusia, dari ekonomi yang berbasiskan benda tak bergerak dan jasa menuju ekonomi berbasiskan ilmu pengetahuan, perlu di renungkan. Lebih jauh Drucker mengemukakan bahwa tahapan agraris, industri dan kini informasi adalah tidak lama lagi tergeser pada era inovasi. Apa itu inovasi dan persyaratannya adalah bahan pekerjaan rumah bersama. Bila generasi kita saat ini setress gara-gara tidak tahu bahasa jawanya anak kerbau, atau hafalan lainya. Jangan disalahkan bila kemudian hari negara Indonesia menjadi negara terbelakang yang menunggu petunjuk, menunggu pemerintahannya waras, menunggu dan menunggu. Namun untung ada film anak-anak pokemon, digimon, tweenies, bob builder dan sejenisnya yang barangkali jadi hiburan anak sekaligus menjadi sarana berfantasi sambil berinovasi, dari pada ngerjakan PR paket pendidikan yang sarat dengan indokrinasi hukum-hukum matematika dan hukum lainnya yang harus dipatuhi tanpa syarat demi memumuaskan harapan bapak dan ibu (memang jamannya sudah terbalik anak berkorban buat orang tua dan guru, rakyat berkorban buat pak Bos).

Hidup reformasi pendidikan Indonesia.

Tidak ada komentar: