Sabtu, 31 Mei 2008

Pendidikan Dalam Perjalanan Waktu

Ketika orang berbicara masalah pendidikan maka yang terpikir adalah masalah teory pendidikan itu sendiri, methodenya, administratisinya, atau problem-problem didalamnya. Hal tersebut tentunya menjadi porsi para ahli dibidangnya. Sebagai orang awam yang bisanya sekedar mengamati, ingin mencoba menelusuri perjalanan sejarah panjang dari pendidikan itu sendiri, baik secara formal atau non formal.

Telah dipahami oleh para pendidik bahwa misi pendidikan adalah mewariskan ilmu dari generasi ke generasi selanjutnya. Ilmu yang dimaksud antara lain: pengetahuan, tradisi, dan nilai-nilai budaya (keberadaban). Secara umum penularan ilmu tersebut telah di emban oleh orang-orang yang terbeban (concern) terhadap generasi selanjutnya. Mereka diwakili oleh orang yang punya visi kedepan, yaitu menjadikan generasi yang lebih baik dan beradab. Peradaban kuno mencatat methode penyampaian ajaran lewat tembang dan kidung, puisi ataupun juga cerita sederhana yang biasanya tentang kepahlawanan.

Maka tidak heran bila pada awal pendidikan digeluti oleh tokoh-tokoh agama. Seperti yang terjadi di Mesir kuno (sejak abad 30 SM ), atau jauh sebelumnya di Sumeria (Iraq utara dimana disana cerita taman Eden bermula). Sumber ilmu pengetahuan mereka adalah dari ajaran turun temurun seperti yang termuat dalam kitab Taurat, kitab Talmud, dan kitab-kitab kuno lainnya. Di India tepatnya di lembah Indus, pendeta Hindu lewat kitab Veda-nya (1200 SM) mengajarkannya kepada generasi penerus isi kitab-kitab tersebut. Budha (483 SM) juga banyak memperbaharui kondisi sebelumya, dan yang kemudian ajaran Budha menyebar kedaerah China. Namun sebelumnya Cina mencatat pengaruh dari Confucius, Laozi (Lao-Tzu), dan filusuf lainnya (770-256 SM). Dibelahan Eropa cikal bakal pendidikan lewat pemikir-pemikir yang sangat kental dipengaruhi kepercayaan Yunani kuno melalui cerita-cerita semacam Iliad, Odyssey dll (sekitar abad 8 SM). Namun sejak jamannya Socrates, Plato, Aristoteles, Isocrates, dan bolo-bolonya, ada perubahan mendasar dalam konsep pendidikan.

Socrates (400 SM) menekankan prinsip-prinsip universal dalam pengajarannya melalui kebenaran, keindahan, dan kebaikan secara umum, dan diajarkan melibatkan kesadaran anak didiknya. Plato sebagai murid Socrates melanjutkan prinsip ini dan juga menjadi orang pertama mendirikan sekolahan secara institusional (Academy). Plato juga tokoh matematika fanatik, sampai-sampai menulis kalimat ‘Let no one ignorant of mathemathics enter here’ dipintu gerbang sekolahannya. Aristoteles sebagai murid Plato mengembangkan prinsip rasional dimana hal ini adalah penting dalam pendidikan. Melalui prinsip ini manusia bisa melihat phenomena alam dan memahami hukum-hukum alam. Alasan lain adalah untuk dapat menangkis pendapat para ekstremis yang cenderung tidak rasional.

Secara institusional Yunani (tepatnya Yunani utara) bisa dibilang lebih maju berpikir. Karena menjadikan pendidikan sarana untuk mempersiapkan generasi muda menjadi calon pemimpin dibidang pemerintahan atau masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut mereka menekankan pengajaran dibidang seni, beberapa cabang filsafat, pertanian, pengembangan creativitas dan juga kesegaran jasmani. Walaupun kemudian ada pergeseran arah dikemudian hari, Plutarach lebih melihat bahwa pendidikan bagi orang dewasa adalah lebih penting dari pada anak-anak. Isocrates meletakkan dasar prinsip-prinsip kepemimpinan, yang kemudian ajarannya sangat mempengaruhi pendidikan di Romawi.

Lain lagi dengan apa yang dilakukan orang Romawi abad pertama, mereka lebih mementingkan keorganisasian. Sehingga pelajaran pidato, penguasaan masa, pengembangan kebribadian dianggap paling penting pada jaman itu. Mulailah pelajaran bahasa menjadi popular bersamaan dengan system organisasi yang lebih baik, keteknikan lebih maju. Arus informasi tentunya lebih maju dengan baiknya pengorganisasian. Quintilian patut dicatat sebagai pendidik yang mulai melihat perlunya pemilahan pendidikan berdasarkan perkembangan mental muridnya. Methode yang diterapkan di Romawi ternyata cukup baik bagi upaya Romawi menjadi penguasa tunggal saat itu. Pendidikan dijadikan alat kekuasaan dan memperlebar daerah kekuasaan.

Faktor keagamaan semakin berperan dalam perjalanan pendidikan terutama sebelum abad sepuluh dan setelah runtuhnya kekuasaan Romawi. Terutama sekali di belahan barat dimana bengaruh Yahudi dan Kristen (khususnya Roman Katolic) cukup besar. Pendidikan dilakukan dibiara-biara dan diajarkan oleh monk (pendeta yang mengkususkan dalam pelayanan terhadap sesama). Namun tidak dipungkiri pula dalam perjalanannya peran agama seolah membodohi masyarakat saat mana agama dipakai penguasa sebagai alat mempertahankan kekuasaannya.

Diabad 5, dimana mulai dibuat texbook untuk masing-masing pengetahuan dalam satu koleksi (yang dikenal dengan seven liberal art), pendidikan masih sekitar itu-itu saja tanpa mengalami perubahan berarti. Walaupun kelembagaan pendidikan lumayan berkembang bersamaan pengabaran agama itu sendiri. Barangkali Raja Alfred (England abad 9) termasuk orang yang sangat peduli dibidang pendidikan, dengan mendorong berdirinya banyak biara-biara (sekolahan dulu dilakukan dibiara) dan pembikinan kurikulum yang lebih mapan. Ini juga terjadi di Itali (Salerno), Jerman, di Spanyol, England (Oxford College – 1249), Paris (Sorbone-1253). Dan tentunya ditimur juga serius mengelola sekolahan. Seperti dicatat Al-Azhar University didirikan ditahun 970, disamping Al-Qarawiyin di Maroco (859). Pada abad pertengahan ini banyak terjadi saling tukar informasi pola barat dan timur, yang tentunya saling menguntungkan. Dimana hal ini juga menjadi factor utama munculnya faham humanisme dan renaissance (kelahiran kembali).

Pada jaman selanjutnya (abad 13-15) terjadi perubahan yang yang sangat mendasar, pendidikan lebih melihat pada pentingnya humanisme dari pada masalah keagamaan, atau pengetahuan faham Yunani ataupun masalah Latin klasik Kemudian hari faham ini menjadi awal terbentuknya sekularisasi. Gerakan kelahiran kembali ini dimulai dari arah Itali yang kemudian begitu cepat menyebar di belahan Eropa. Ditandai dengan perubahan-perubahan mendasar dibidang seni arsitektur dan literature. Desiderius Erasmus patut dicatat sebagai tokoh yang melihat bahwa pengajaran secara liberal adalah pilihan yang tepat, memahami maksud suatu literature adalah lebih berguna dari pada menghafal. Maka mulailah pelajaran sejarah, perbintangan, mythology, arkeologi, scripture, diajarkan bukan untuk dihafal.

Ditemukannya alat cetak (Johanes Gutenberg) di abad 15 juga menjadi pendorong perubahan dibidang pendidikan. Hal lain yang sangat baik diabad ini adalah adanya perhatian terhadap hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan secara formal di sekolah umum. Ditahun 1640, di London tercatat 80% wanita adalah buta huruf.

Bagaikan bola salju yang menggelinding Renaissance membawa angin perubahan dibidang agama, dengan terjadinya reformasi agama (Kristen) oleh John Calvin, Martin Luther dan Huldreich Zwingli diawal abad 16. Tentunya hal ini sangat besar pengaruhnya terhadap perubahan pendidikan jaman itu pula. Dimana kekuasaan sentralisasi Roman Katolik tidak lagi membelenggu sektor pendidikan. Terutama sekali masalah bahasa, dan kebebasan untuk melihat sesuatu yang sebelumnya dianggap sakral. England misalnya, mulai memakai bahasa inggris untuk pengantar pengajaran. Baru pendidikan bahasa latin dan Yunani diajarkan di tingkat dua (Grammar Shoool di England, Gymnasium di Jerman). Gerakan reformasi juga telah mendorong peran keluarga dalam membentuk generasi, dimana orang tua didorong untuk mengajarkan ajaran agama dan tidak tergantung pada pemimpin agama. Martin Luther juga mendorong terjadinya produktivitas berpikir, mengajak keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan dan pemerintah saling bahu membahu menggulirkan reformasi disegala bidang (terutama agama dan pendidikan). Karena pada dasarnya agama adalah untuk kepentingan manusianya itu sendiri, bukan sebaliknya. Melanchthon teman Luther di Jerman dengan keras menekankan peran pemerintah sebagai penanggung-jawab masalah pendidikan bagi warganya (sebelumnya pendidikan banyak ditangani oleh badan keagamaan).

Namun demikian bukan berarti pihak Roman Katholik tidak mengambil inisiatip atas terjadinya angin perubahan jaman. St. Ignatius of Loyola menanggapi perubahan dengan cukup bijak, walaupun tentunya bermaksud untuk mengimbangi gerakan kaum reformis saat itu.

Pendidikan yang dinamis telah menghantarkan masyarakat dari tahap agraris menuju tahap industrialis. Dimana diabad 17 ilmu pengetahuan science menjadi perhatian umat. Royal society di London menjadi pelopor bagaimana mengembangkan basic ilmu pengetahuan natural. Barangkali Christ’s Hospital (di London) adalah sekolahan yang mengajarkan bidang science dengan memberi gelar menurut bidangnya untuk pertamakalinya. Francis Bacon adalah filosuf Inggris yang mengetengahkan pentingya pola pikir inductive. Dia mendorong murid untuk mengamati, meneliti, menguji, berdasarkan apasaja yang dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan termasuk didalamnya adalah panca indera dan akal-budi, dan yang kemudian baru membuat kesimpulan.

Abad 17 juga ditandai dengan banyaknya pemikir masalah pendidikan dibanyak negara di Eropa. Misal Wolfgan Ratke dengan metode pengajaran di bidang bahasa, Rene Descrates dengan penekanan pentingnya logika dalam berpikir, John Locke melihat pentingnya kurikulum dan metode pengajaran. John Locke beranggapan lebih baik melihat objek secara langsung daripada hanya lewat buku, missal lewat rekreasi keluar bersama, kesawah, kesungai dan diskusi disana. Adalah lebih baik makan durian dari pada mendengar enaknya buah durian. Hal ini dimaksud untuk melatih daya kritis, analisis dengan menggunakan logika yang teratur guna memperkuat akalbudinya. Karana pada dasarnya manusia ketika lahir adalah bagaikan tabula rasa. St. John Babtist de la Salle dengan seminarinya, adalah termasuk pioneer dalam mempersiapkan tenaga pengajar dengan cara yang sistimatis. Ide tersebut mengilhami Comenius untuk mengajarkan sesuatu yang konret dari pada yang verbal. August Franke seorang pendeta Lutheran (masih abad 17) memantapkan dasar-dasar teacher training, pendidikan orang dewasa, modernisasi kurikulum dan jaringan sekolahan.

Pembaharuan pendidikan merambah ke daratan Afrika, Amerika, dll, bersama dengan perubahan jaman (kolonialisme dan penjajahan).

Disamping masih terus terjadinya pembaharuan konsep, seperti Jean-Jacques Rousseau (1762) merombak konsep, bahwa anak-anak bukanlah miniatur orang dewasa. Anak-anak harus diberlakukan sebagaimana anak-anak sesuai perkembangan jiwanya. Atau tepatnya dikatakan oleh muridnya (Johann Basedow), semuanya harus kembali secara alami (jangan dikarbit biar cepat matang tapi cepat busuk pula). Mengajar anak harus juga menggunakan perasaan (memangnya anak sebagai kelinci percobaan).

Reformasi juga terjadi di belahan Amerika (1775-1783), Benjamin Franklin termasuk tokok perubahan pendidikan. Thomas Jefferson sebagai presiden yang ketiga sangat memperhatikan masalah pendidikan ini, dia beranggapan untuk membentuk masyarakat yang demokratik harus dimulai dari pendidikan. Jaman tersebut disebutkan sebagai jaman serba beralasan, karena reason adalah dasar mengungkap sesuatu yang terselubung.

Agaknya konsep Johann Pestalozzi (1746-1827) yang agak mirip dengan Rousseau patut diingat. Dimana prinsip pengajaran anak selain kembali pada perkembangan natural, menekankan pada hal yang lebih konkret, melihat hal yang dekat dahulu (keseharian), memulai yang sederhana dahulu, juga memberikan dasar bahwa sesuatu yang besar adalah kumpulan yang kecil-kecil. Atau boleh dikatakan pelajaran yang komplek sebenarnya hanyalah pelajaran yang sederhana ditambah sedikit dan yang sederhana lainnya. Untuk mengaktualisasikan hal ini dia menggunakan prinsip keseimbangan perkembangan 3 H (head, heart, dan hand).

Sedikit bergeser keabad 19, bapak kindergarten (Friedrich Froebel), meletakkan dasar pentingnya keseimbangan psikologi dan filosofi didalam pendidikan science. Dia merasa fahamnya Pestalozzi mengesampingkan factor filosofi dimana pada dasarnya anak memiliki daya pengajaran terhadap dirinya sendiri. Dia yakin bahwa anak mempunyai cahaya pencerahan bagi dirinya sendiri yang sifatnya spiritual (anak berusaha menghindari kesalahan yang sama, jadi tidak perlu setiap hari diberi tahu bahwa api itu panas). Oleh karena itu di sekolahannya (kindergarten) disamping memberi pelajaran sesuai konsepnya Pestalozzi, dia membebaskan dan merangsang anak untuk berkreasi dengan apa yang ada di sekitarnya (missal air, pasir, tanah liat, alat gambar dll). Rudolf Steiner (di Sturtgart) menyambut gagasan ini, dia sebagai seorang mistikus sekaligus filosof percaya bahwa pendidikan harus menyeimbangkan perkembangan anak secara utuh (tidak sekedar inteletualnya saja). Barangkali ini juga mendasari pemberian kebebasan anak untuk memilih ajaran agamanya dikemudian hari.

Mungkin sebagai gambaran emansipasi wanita saat itu, Elizabeth Garrett Anderson (1836-1917) patut dicatat sebagai wanita pertama meraih gelar doctor).

Herbert Spencer seorang yang terpengaruh oleh teory Darwin. Dimana dijaman industrialis saat itu, untuk menyiapkan murid yang berdaya saing kuat dan mudah beradaptasi maka pelajaran science dan pelajaran pendukungnya adalah mutlak terpenting. Atau dengan kata lain membekali murid dengan antisipasi kedepan adalah lebih penting dari pada melihat kebutuhan saat itu saja.

Pada abad 19 ini juga mulai terpikir adanya sistim pendidikan secara nasional, yang berarti ada pelajaran-pelajaran wajib untuk pelajaran yang bersifat umum. Mulailah berkembangnya sekolahan-sekolahan modern yang lebih liberal. Nampaknya Jepang juga mulai melepas dari pengasingan diri, untuk melirik cara-cara barat (reformasi budaya bukan berarti menabut akar budaya). Demikian juga Amerika Latin, tak ketinggalan pula para penjajah mulai berpikir ulang untuk menyebarkan pengetahuannya (walaupun cenderung masih bermaksud menghisap).

Diawal abad 20 Ellen Key menjadi terkenal ketika dia melontarkan gagasannya, bahwa pengajaran harus didasarkan pada kebutuhan pokok dan kemampuan murid daripada pertimbangan kebutuhan social, keinginan orang tua apalagi keinginan keorganisasian agama. John Dewey setuju, bahwa interest anak yang berbeda harus dilayani dengan cara berbeda. Maka pendidikan ketrampilan menurut bakat dan kemampuan anak menjadi penting. Karena itu perlu pengelompokan berdasarkan bakat dan keinginan (kejuruan dan ketrampilan). Ini pula yang dikembangkan oleh Maria Montessori (1907). Dia sangat berjasa dalam sumbangannya terutama untuk pendidikan dasar (yang saat ini masih sering jadi bahan acuan). Namun dibeberapa negara teori ini tidak bisa diterapkan, karena kebutuhan negara adalah lebih penting dari pada kebutuhan anak.

Diabad 20 tersebut juga sangat dipengaruhi oleh pendapat Jean Piaget yang mengamati adanya perkembangan kemampuan verbal dan berpikir lewat pengenalan dan kemampuan pembentukan konsep bagi anak, yang ternyata berbeda-beda. Maka system pendidikan perlu disesuaikannya. Dia menggolongkan perkembangan anak dalam empat tahapan. Dimana tiap tahapan harus dilalui secara natural. Sumbangan Binet dan Simon (1905) cukup penting dalam penanganan anak yang berbeda IQ. Anak yang IQ-nya 80 tidak selayaknya disejajarkan penilaiannya dengan anak yang ber IQ tinggi. Hal itu akan merusak perkembangan mental anak. Mungkin barangkali ini mendasari mengapa pada tahap pendidikan dasar metode penilaian cukup lewat laporan kemajuan anak, supaya anak tidak merasa rendah diri.

Pendidikan menjadi industri nasional, maka perlu ditata ulang dengan peraturan-peraturan nasional pula. Apalagi di Inggris ditahun 1889 sudah berdiri badan perlindungan anak (NSPCC), dimana menganjurkan anak dibawah 10 tahun harus mendapatkan pendidikan. Penataan di Inggris missal di tahun 1944 menerapkan tiga tahapan pendidikan yaitu pendidikan dasar, kedua dan pendidikan atas (higher education). Di Inggris peraturan telah mengelami beberapa perubahan sesuai perkembangan jaman, dan teori dari pendidikan itu sendiri yang berkembang. Termasuk didirikannya Universitas terbuka untuk pertamakalinya (1969) perlu ditata secara nasional.

Pengaruh suasana politik saat itu tidak bisa diabaikan. Missal di Rusia dengan partai komunisnya yang bersatu dibawah Joshep Stalin 1920 walaupun kemudian di tahun 1990 terjadi berubahan baru dibawah Michail Gorbachev. Dibelahan Eropa dengan perang dunianya, dan juga runtuhnya tembok Berlin (1989) ikut merubah system pendidikan.

Bahkan secara luas telah menjadi perhatian PBB lewat UNESCO-nya. Target utama saat itu adalah pemberantasan buta huruf dinegara-negara sedang berkembang termasuk didalamnya Indonesia.

Menengok kedalam negeri sekolah pendidikan dasar telah diperkenalkan oleh Belanda. Sekolah yang tadinya hanya untuk kalangan keturunan belanda, dengan etische politiek (kepotangan budi) di negara jajahan belanda (1870) mulai membuka sekolahan bagi kaum bumi putera (SR). Hal tersebut nampaknya juga akibat pengaruh faham humanisme dan kelahiran baru yang melanda negeri Belanda. Program utamannya saat itu mungkin hanya untuk kepentingan Belanda juga (untuk meningkatkan produktivitas ditanah jajahannya). Untuk Perguruan tinggi dimulai dengan berdirinya sekolah-sekolah kejuruan. Misal STOVIA(1902) yang kemudia berubah jadi NIAS(1913) dan GHS adalah cikal bakal dari fakultas kedokterannya UI. Lalu juga Rechts School (1922) dan Rechthoogen School (1924) kemudian melebur jadi fakultas hukumnya UI. Juga disusul beberapa fakultas lainya. Di Bandung dimana bung Karno sekolah juga berasal dari sekolah teknik THS (1920) dan di Bogor dibuat juga sekolah perkebunan (1941) adalah cikal bakal IPB sekarang.

Bila kemudian didirikan UI (1950) atau UGM (1945) adalah leburan dari yang sudah ada dan kemudian ditambahkan fakultas lainnya. Perlu dicatat pula universitas tua lainnya seperti ITB (1959), IPB (1963), Unair (1963), dan universitas swasta tertua kita adalah UII (1948). Barangkali bisa dimaklumi bahwa pendidikan di Indonesia masih sangat muda dibanding pendidikannya Plato.

Walaupun sebenarnya sejak jamannya pangeran Aji Saka (abad 3) telah diperkenalkan huruf jawa dengan mencontoh huruf di India selatan, jadi pemerintahan Jawa Dwipa sudah mengenal pendidikan. Demikian pula abad 5 pendeta Budha memperkenalkan ajarannya (tentunya mengandung unsur pendidikan. Berdirinya Borobudur boleh di anggap sebagai parameter tingginya ilmu arsitektur (diabad 8) oleh Raja Sailendra Samaratungga. Dicatat pula Candi Prambanan (Hindu) yang elok itu dibangun di abad 9 jamannya raja Sanjaya. Raja agung Airlangga (1019) boleh dianggap raja paling toleran dan melindungi umat berbeda agama (hal ini tentunya tidak terjadi sebelumnya). Tidak kurang di Indonesia juga ada ahli filosuf atau mungkin sebagai nabinya wong jowo yaitu Raja Joyoboyo (1157), siapa yang tak kenal dengan primbonnya Joyo boyo. Namun sayang selama perjalanan sejarah bangsa Indonesia selalu disertai dengan perang saudara (jauh sebelum Belanda datang, sudah cakar-cakaran, jangan hanya Belanda yang disalahkan sebagai provokator dengan politik adu kambinya, ternyata bakat ini belum hilang sampai sekarang). Bahkan Patih Gadjah Mada yang dianggap pemersatupun (dengan sumpahnya yang sakti) adalah hanya untuk penguasaan dan menunjukkan kehebatan Majapahit. Tentu ini juga berpengaruh pada pendidikan secara umum, dan sebaliknya bisa jadi pendidikan ikut mempengaruhinya. Menengok perjalanan sejarah bangsa Indonesia perlu dibahas tersendiri.

Gambaran sejarah pendidikan di Indonesia saat ini bisa dialami bersama. Dari gambaran diatas ternyata masalah pendidikan bukan sekedar tergantung pada teory dan ilmu pendidikan itu saja, tapi juga iklim social budaya dan politik ikut berperan. Namun bukan alasan untuk tidak memperbaharui kehidupan melalui pembaharuan konsep pendidikan itu sendiri. Jadi reformasi pendidikan adalah mutlak perlu dilakukan terus menerus sesuai perubahan pemahaman umat akan kehidupan itu sendiri. Dimana Peter Drucker melihat pergeseran kebutuhan manusia, dari ekonomi yang berbasiskan benda tak bergerak dan jasa menuju ekonomi berbasiskan ilmu pengetahuan, perlu di renungkan. Lebih jauh Drucker mengemukakan bahwa tahapan agraris, industri dan kini informasi adalah tidak lama lagi tergeser pada era inovasi. Apa itu inovasi dan persyaratannya adalah bahan pekerjaan rumah bersama. Bila generasi kita saat ini setress gara-gara tidak tahu bahasa jawanya anak kerbau, atau hafalan lainya. Jangan disalahkan bila kemudian hari negara Indonesia menjadi negara terbelakang yang menunggu petunjuk, menunggu pemerintahannya waras, menunggu dan menunggu. Namun untung ada film anak-anak pokemon, digimon, tweenies, bob builder dan sejenisnya yang barangkali jadi hiburan anak sekaligus menjadi sarana berfantasi sambil berinovasi, dari pada ngerjakan PR paket pendidikan yang sarat dengan indokrinasi hukum-hukum matematika dan hukum lainnya yang harus dipatuhi tanpa syarat demi memumuaskan harapan bapak dan ibu (memang jamannya sudah terbalik anak berkorban buat orang tua dan guru, rakyat berkorban buat pak Bos).

Hidup reformasi pendidikan Indonesia.

Tuhan aku lapar

Seharian aku berjalan menyusuri jalan yang panas di bawah terik mentari dan berdebu sambil berangan-angan mendapatkan sesuap nasi dan segelas air walupun hanya segelas air putih tak masalah yang penting dapat membasahi kerongkongan ku yang kering hingga untuk menelan ludah sendiri saja sulit,” mengapa orang –orang memicingkan aku”gumamku “aku memang pengamen yang berpakaian kumal hingga orang pun tak memandangku”

Dengan gitar dipundakku aku berjalan menuruti kemana langkahku akan berhenti, tak seorangpun yang mau menyapaku “ tak ada orang yang menawariku segelas air” hmm lagi-lagi aku mengeluh, mengapa aku seperti ini TUHAN tak layakkah aku hidup seperti yang lain, mau makan tinggal ambil, mau minum, aku tinggal menuangkan dalam gelas,tidak harus susah payah, hanya untuk makan dan minum saja akua harus menggendong gitar di pundakku. “ya gitar yang sudah lapuk dan pinggirnya sudah digrigiti rayap, sedangkan senarnya harus distam tiap habis dipakai ngamen”mau cari kerja yang lebih baik aku ini siapa?aku hanya seorang yang sekolah dasar saja tidak kelar,bahkan waktu aku kecil dimana teman-temanku bermain di tanah lapang aku harus mengambil batu dari kali untuk dijual sekedar untuk makan saja” kini 20 tahun sudah aku arungi hidup ini tanpa kesenangan sekalipun.

Kuhirup napas dalam-dalam mungkin ini sudah jalan hidupku dan aku harus terima sebagaita kdirku

Kulihat ada pohon rindang diujung lapangan kusandarkan tubuhku yang gerah bermandikan peluh dibawah pohon itu kuletakkan gitar tua ku di samping tubuhku

“ andai aku jadi orang kaya tak usah ngamen”kuajak bicara gitar tuaku

“ia pun tak menjawab dan seolah –olah meledekku,karena gitarku pun tak pernah kurawat”

Tak sekian lama, tiba-tiba mataku mengantuk dan akupun tidur dibawah pohon rindang diujung lapangan.

tak berapa lama aku sudah berada dalam istana yang besar yang megah yang tak pernah aku temui sebelumnya

“ besar nian rumah ini,aku berada dimana?”heranku

“ sungguh indah rumah ini, lantainya saja terbuat dari batu pualam yang harganya pastimilyaran nih” tak henti sampai disitu saja heranku, aku di kejutkan lagi dengan adanya bermacam jenis makanan yang ada di atas meja makan “wow, pasti yang punya rumah adalah orang yang kaya”diam-diam air liurku menetes dan “krucuk-krucuk”perutku mulai rewel.

Aku langsung menuju meja makan yang penuh dengan bermacam-macam makanan dan minuman

“santap habis” aku bagai raja di raja saat itu, semua makanan aku santap tanpa sisa”kenyang-kenyang sampai aku tak bisa berdiri”

“aduh ada sisa makanan yang nyangkut dimulutku”aku ambil segelas air putih lalu aku minum.

Karena tergesa-gesa air itu membasahi bajuku, saat itu jua aku terbangun dengan baju yang sudah basah kuyub.

“akupun tersentak kaget ternyata turun hujan” gumamku ,kenapa tidajk ada yang membangunkanku

Malam itu langit tampak tak bersahabat “ gelap gelegar halilintar menyambar seolah membidik aku yang sendirian”

“kuraba-raba tempat aku meletakkan gitarku”

“dimana gitarku?”kuraba-raba “gak ada, sialaan,siapa pula yang mau mengambilgitar tua ku?’

Lengkap sudah penderitaan ku

Dari pagi belum terisis perut ini, e malah satu-satunya alat untuk mencari makan lari entah kemana?

Sungguh sial nasib hidupku ini.

Udara makin dingin bak di dalam es, ku peluk erat tubuhku sendiri untuk mengusir rasa dingin .

Tanpa perut terisii sejak dari tadi pagi, ini pasti akan menjadi malam yang bterpanjang yang aku alami.

Hujan seolah-olah dimuntahkan dari mulut langit yang luas, tak mau berhenti bahkan semakin menjadi-jdi

Ku eratkan tangan kananku dibawah ketiak kiriku begitu sebaliknya sekedar mengusir dingin ini.

Akan tetapi perut ini trus berbunyi tiada henti seperti orchestra dangdut, sahut menyahut.

“apa yang haurs aku lakukan” pikirku

“eh perut mengapa kau tak diam”

“ingin rasanya aku mengetuk pintu salah satu penduduk dikota ini ,tapi apakah mereka mau perduli dengan seorang gembel seperti ini”

“ belum lagi aku ketuk, pasti aku sudah diusir si cecunguk yang jaga pagar”

“ itu pun mending, kalau aku diteriaki maling” pasti mati aku dihajrnya” pikirku

Tapi perut ini tak mau mengerti keadaan ku” perut-perut tetaplah perut yang lapar harus diisi bila kosong blong.

Tanpa terasa mala semakin larut udara, bersembunyi dibawah ketiak pun tak mampu untuk mengusir dinginnya udara.

“ oh TUHAN apakah aku harus mati hanya perut belum diisi”

“ dimana pimpinan negara ini yang membiarkan rakyatnya mati karean lapar”

“oh TUHAN aku lapar” pintaku padaNYA

Akan tetpi TUHAN pun seolah tidak mau tahu,seolah IA sibuk dengan malaikatnya.

TUHAN pun tak mau mgurusi si pengamen ini.

“ dinginnya udara telah berlalu bersamaan dengan terpejamnya mataku

Gelap gelap dan semakin gelap apakah aku mati,tapi tidak mungkin.

Mentari pagi selah malu menampakkan panasnya.

Tapi tubuhku melayang-layang diudara, aku melihat sesosok tubuh yabg telah dikerumuni orang banyak.

Ingin rasanya aku mengintip tubuh siapa yang tergeleak di emperan supermarket. Tapi tubuhku semakin membumbung tinggi tinggi dan semakin tinggi sampai-sampai orang yang di bawahku kelihatan kecil bagia semut-semut kecil yang menggigitku tadi siang.

Tapi samar-samar aku mendengar orang-orang dibawahku menyebut-nyebut orang yang berada di emperan supermarket itu adalah pengamen yang tadi siang tidur di bawah pohon rindang di ujung lapangan.

Seoalh tak percaya, itu aku yang mereka sebut

Karean aku tadi yang tidur di bawah pohon rindang di ujung lapangan.

“ aku telah mati………………..”

“ aku telah mati …………………”

Teriakku tapi tak ada yang dengar.

“ ya aku telah mati hanya karena perut tak terisi”

Tragis ya memang tragis

Sungguh

“ terimalah aku tuhan”

Nur Rokhim

11 juni 2007 dalm lindungan NYA

KRISIS KEPEMIMPINAN DI MAJAPAHIT


A. Teori-Teori kepemimpinan dan Perannya bagi Organisasi

Fungsi kepemimpinan dalam suatu organisasi, tidak dapat dibantah merupakan suatu fungsi yang sangat penting bagi keberadaan dan kemajuan organisasi yang bersangkutan. Oleh karena itu, memahami teori-teori kepemimpinan sangat besar artinya untuk mengkaji sejauh mana kepemimpinan dalam suatu organisasi telah dapat dilaksanakan secara efektif serta menunjang kepada produktivitas organisasi secara keseluruhan.

Mengenai teori kepemimpinan ini, Thoha (1995 :31-48) ; Bowditch and Buono (1985 : 129-141) ; Gordon (1996 : 316-332) ; Robbins (1996 : 38-45), mengemukakan beberapa teori antara lain teori sifat (trait theory), teori kelompok, teori situasional, serta teori jalur - tujuan (path goal theory), teori partisiaspi (participation theory), teori siklus hidup (life cicle theory), teori pertukaran (exchange theory), dan sebagainya.

Dari banyaknya teori-teori kepemimpinan tadi, dalam pembahasan disini hanya akan disinggung sebagian saja yang penulis nilai memiliki relevansi kuat dengan pokok permasalahan yang ada. Teori sifat misalnya, mengadopsi pendapat Keith Davis yang merumuskan empat sifat umum yang mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan organisasi, yakni :

    1. Kecerdasan, artinya pemimpin harus memiliki kecerdasan lebih dari pengikutnya, tetapi tidak terlalu banyak melebihi kecerdasan pengikutnya.
    2. Kedewasaan dan keluasan hubungan sosial, artinya seorang pemimpin harus memiliki emosi yang stabil dan mempunyai keinginan untuk menghargai dan dihargai orang lain.
    3. Motivasi diri dan dorongan berprestasi, sehingga pemimpin akan selalu energik dan menjadi teladan dalam memimpin pengikutnya.
    4. Sikap-sikap hubungan kemanusiaan, dalam arti bahwa pemimpin harus menghargai dan memperhatikan keadaan pengikutnya, sehingga dapat menjaga kesatuan dan keutuhan pengikutnya.

Teori kelompok memandang bahwa agar tujuan organisasi (kelompok) dapat tercapai, harus ada pertukaran yang positif antara pemimpin dengan pengikutnya. Kemudian teori kepemimpinan situasional dari Fiedler, mengemukakan pandangan bahwa efektivitas kerja dalam organisasi dapat dicapai jika terdapat kombinasi antara situasi yang menyenangkan dengan gaya kepemimpinan. Situasi yang menyenangkan sendiri dapat tercapai jika pemimpin diterima oleh pengikutnya,, tugas-tugas ditentukan secara jelas, serta penggunaan otoritas dan kekuasaan secara formal diterapkan pada posisi pemimpin (Thoha, 1995 : 38).

Dari adanya berbagai teori kepemimpinan diatas, dapat diketahui bahwa teori kepemimpinan tertentu akan sangat mempengaruhi gaya kepemimpinan (leadership style), yakni pemimpin yang menjalankan fungsi kepemimpinannya dengan segenap filsafat, keterampilan dan sikapnya. Gaya tersebut bisa berbeda-beda atas dasar motivasi, kuasa ataupun orientasi terhadap tugas atau orang tertentu.

Diantara beberapa gaya kepemimpinan, terdapat pemimpin yang positif dan negatif, dimana pembedaan itu didasarkan pada cara dan upaya mereka memotivasi karyawan. Apabila pendekatan dalam pemberian motivasi ditekankan pada imbalan atau reward (baik ekonomis maupun non ekonomis), berarti telah digunakan gaya kepemimpinan yang positif. Sebaliknya, jika pendekatannya menekankan pada hukuman atau punishment, berarti dia menerapkan gaya kepemimpinan negatif. Pendekatan kedua ini dapat menghasilkan prestasi yang diterima dalam banyak situasi, tetapi menimbulkan kerugian manusiawi.

Selain gaya kepemimpinan diatas, terdapat gaya lainnya yaitu gaya otokratik, partisipatif, dan bebas kendali (free rein atau laissez faire). Pemimpin otokratik memusatkan kuasa dan pengambilan keputusan bagi dirinya sendiri, dan menata situasi kerja yang rumit bagi pegawai sehingga mau melakukan apa saa yang diperintahkannya. Kepemimpinan ini pada umumnya negatif, yang berdasarkan atas ancaman dan hukuman. Meskipun demikian, ada juga beberapa manfaatnya antara lain : memuingkinkan pengambilan keputusan dengan cepat serta memungkinkan pendayagunaan pegawai yang kurang kompeten.

Sementara itu, pemimpin partisipatif lebih banyak mendesentralisasi-kan wewenang yang dimilikinya sehingga keputusan yang diambil tidak bersifat sepihak. Adapun pemimpin bebas kendali menghindari kuasa dan tanggungawab, kemudian menggantungkan kepada kelompok baik dalam menetapkan tujuan dan menanggulangi masalahnya sendiri. Diantara ketiganya, kecenderungan umum yang terjadi adalah kearah penerapan praktek partisipasi secara lebih luas karena dianggap paling konsisten dengan perilaku organisasi yang supportif. Secara lebih detail, pembahasan mengenai motivasi ini akan diteruskan pada bab-bab selanjutnya dari diktat ini.

Selanjutnya dilihat dari orientasi si pemimpin, terdapat dua gaya kepemimpinan yang diterapkan, yaitu gaya konsideran dan struktur, atau dikenal juga sebagai orientasi pegawai dan orientasi tugas. Beberapa hasil penelitian para ahli menunjukkan bahwa prestasi dan kepuasan kerja pegawai dapat ditingkatkan apabila konsiderasi merupakan gaya kepemimpinan yang dominan. Sebaliknya, para pemimpin yang berorientasi tugas yang terstruktur, percaya bahwa mereka memperoleh hasil dengan tetap membuat orang-orang sibuk dan mendesak mereka untuk berproduksi.

Pemimpin yang positif, partisipatif dan berorientasi konsiderasi, tidak selamanya merupakan pemimpin yang terbaik. Fiedler telah mengembangkan suatu model pengecualian dari ketiga gaya kepemimpinan diatas, yakni model kepemimpinan kontingensi. Model ini menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang paling sesuai bergantung pada situasi dimana pemimpin bekerja. Dengan teorinya ini Fiedler ingin menunjukkan bahwa keefektifan pemimpin ditentukan oleh interaksi antara orientasi pegawai dengan tiga variabel yang berkaitan dengan pengikut, tugas dan organisasi. Ketiga variabel itu adalah hubungan antara pemimpin dengan anggota (leader - member relations), struktur tugas (task structure), dan kuasa posisi pemimpin (leader position power). Variabel pertama ditentukan oleh pengakuan atau penerimaan (akseptabilitas) pemimpin oleh pengikut, variabel kedua mencerminkan kadar diperlukannya cara spesifik untuk melakukan pekerjaan, dan variabel ketiga menggambarkan kuasa organisasi yang melekat pada posisi pemimpin.

Model kontingensi Fiedler ini serupa sekali dengan gaya kepemimpinan situasional dari Hersey dan Blanchard. Konsepsi kepemimpinan situasional ini melengkapi pemimpin dengan pemahaman dari hubungan antara gaya kepemimpinan yang efektif dengan tingkat kematangan (maturity) pengikutnya. Perilaku pengikut atau bawahan ini amat penting untuk mengetahui kepemimpinan situasional, karena bukan saja pengikut sebagai individu bisa menerima atau menolak pemimpinnya, akan tetapi sebagai kelompok, pengikut dapat menentukan kekuatan pribadi apapun yang dimiliki pemimpin

Menurut Hersey dan Blanchard (dalam Ludlow dan Panton, 1996 : 18 dst), masing-masing gaya kepemimpinan ini hanya memadai dalam situasi yang tepat - meskipun disadari bahwa setiap orang memiliki gaya yang disukainya sendiri dan sering merasa sulit untuk mengubahnya meskipun perlu.

Directing adalah gaya yang tepat apabila Anda dihadapkan dengan tugas yang rumit dan staf Anda belum memiliki pengalaman dan motivasi untuk mengerjakan tugas tersebut ; atau apabila Anda berada di bawah tekanan waktu penyelesaian. Anda menjelaskan apa yang perlu dan apa yang harus dikerjakan. Dalam situasi demikian, biasanya terjadi over-communicating (penjelasan berlebihan yang dapat menimbulkan kebingungan dan pembuangan waktu). Coaching adalah gaya yang tepat apabila staf Anda telah lebih termotivasi dan berpengalaman dalam menghadapi suatu tugas. Disini Anda perlu memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengerti tentang tugasnya, dengan meluangkan waktu membangun hubungan dan komunikasi yang baik dengan mereka.

Selanjutnya, gaya kepemimpinan supporting akan berhasil apabila karyawan telah mengenal teknik-teknik yang dituntut dan telah mengembangkan hubungan yang lebih dekat dengan Anda. Dalam hal ini, Anda perlu meluangkan waktu untuk berbincang-bincang, untuk lebih melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan kerja, serta mendengarkan saran-saran mereka mengenai peningkatan kinerja. Adapun gaya delegating akan berjalan baik apabila staf Anda sepenuhnya telah paham dan efisien dalam pekerjaan, sehingga Anda dapat melepas mereka menjalankan tugas atau pekerjaan itu atas kemampuan dan inisiatifnya sendiri.

Ditengah-tengah dinamika organisasi (yang antara lain diindikasikan oleh adanya perilaku staf / individu yang berbeda-beda), maka untuk mencapai efektivitas organisasi - penerapan keempat gaya kepemimpinan diatas perlu disesuaikan dengan tuntutan keadaan. Inilah yang dimaksud dengan situational leadership, sebagaimana telah disinggung diatas. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa untuk dapat mengembangkan gaya kepemimpinan situasional ini, seseorang perlu memiliki tiga kemampuan khusus yakni :

    1. Kemampuan analitis (analytical skills), yakni kemampuan untuk menilai tingkat pengalaman dan motivasi bawahan dalam melaksanakan tugas.
    2. Kemampuan untuk fleksibel (flexibility atau adaptability skills), yaitu kemampuan untuk menerapkan gaya kepemimpinan yang paling tepat berdasarkan analisa terhadap siatuasi.
    3. Kemampuan berkomunikasi (communication skills), yakni kemampuan untuk menjelaskan kepada bawahan tentang perubahan gaya kepemimpinan yang Anda terapkan.

Ketiga kemampuan diatas sangat dibutuhkan bagi seorang pemimpin, sebab seorang pemimpin harus dapat melaksanakan tiga peran utamanya yakni peran interpersonal, peran pengolah informasi (information processing), serta peran pengambilan keputusan (decision making) (Gordon, 1996 : 314-315).

Peran pertama meliputi meliputi peran figurehead (sebagai simbol dari organisasi), leader (berinteraksi dengan bawahan, memotivasi dan mengembangkannya), dan liaison (menjalin suatu hubungan kerja dan menangkap informasi untuk kepentingan organisasi). Sedangkan peran kedua terdiri dari tiga peran juga yakni monitor (memimpin rapat dengan bawahan, mengawasi publikasi perusahaan, atau berpartisipasi dalam suatu kepanitiaan), disseminator (menyampaikan infiormasi, nilai-nilai baru dan fakta kepada bawahan) serta spokesman (juru bicara atau memberikan informasi kepada orang-orang diluar organisasinya). Adapun peran ketiga terdiri dari empat peran yaitu entrepreneur (mendesain perubahan dan pengembangan dalam organisasi), disturbance handler (mampu mengatasi masalah terutama ketika organisasi sedang dalam keadaan menururn), resources allocator (mengawasi alokasi sumber daya manusia, materi, uang dan waktu dengan melakukan penjadualan, memprogram tugas-tugas bawahan, dan mengesahkan setiap keputusan), serta negotiator (melakukan perundingan dan tawar menawar).

Dalam perspektif yang lebih sederhana, Morgan (1996 : 156) mengemukakan tiga macam peran pemimpin yang disebutnya dengan “3A”, yakni alighting (menyalakan semangat pekerja dengan tujuan individunya), aligning (menggabungkan tujuan individu dengan tujuan organisasi sehingga setiap orang menuju kearah yang sama), serta allowing (memberikan keleluasaan kepada pekerja untuk menantang dan mengubah cara mereka bekerja).

B. Kasus Majapahit

Majapahit adalah kerajaan kedua setelah Sriwijaya di Indonesia yang berhasil menyatukan wilayah-wilayah nusantara, bahkan meluas sampai Malaya dan sebagian Filipina, kedalam satu naungan kekuasaan (songsong pengayoman). Oleh karenanya Majapahit sering disebut pula sebagai Kerajaan Nasional II, dan inilah yang menjadi salah satu alasan kuat mengapa studi-studi mengenai eksistensi Majapahit selalu menarik minat para sejarawan.

Kepemimpinan, adalah satu dari banyak aspek kajian yang tidak pernah membosankan. Faktanya, sejak didirikan oleh R. Wijaya hingga masa keruntuhannya, Majapahit selalu dirongrong oleh masalah pelik yang sulit dihindarkan, yaitu perebutan tampuk kepemimpinan yang terjadi secara beruntun. Dan, persaingan dalam memperebutkan pengaruh dan kekuasaan yang tidak bisa dihentikan, akan membawa akibat disintegrasi kehidupan sosial-politik, sehingga terjadi kemacetan dalam proses pembangunan “nasional” (nation building).

Pada masa pemerintahan R. Wijaya atau Kertarajasa (1293 - 1309 M), sudah terjadi beberapa kali pemberontakan. Hanya karena “ketahanan nasional” yang kuat serta sikap Kertarajasa yang tegaslah maka pemberontakan-pemberontakan tadi tidak dapat berkembang secara optimal. Akan tetapi sepeninggal Kertarajasa dan kemudian digantikan oleh Kalagemet atau Sri Jayanegara yang lemah serta tidak memiliki ketegasan dan kewibawaan, benih-benih ketidakpuasan dari “arus bawah” dengan suburnya tumbuh menjadi gerakan-gerakan coup d'etat.

Ranggalawe, pengikut setia Kertarajasa, menurut Pararaton memberontak pada tahun Saka 1217 atau 1295 M, karena adanya perasaan tidak puas dengan kepemimpinan Kertarajasa. Ranggalawe yang memegang peranan penting dalam penyerbuan terhadap Jayakatwang (Raja Kediri), sebenarnya mengharapkan kedudukan sebagai Patih Majapahit. Akan tetapi yang diangkat menjadi patih adalah Nambi, anak Arya Wiraraja atau Banyak Wide, yang dalam pandangan Ranggalawe adalah orang yang lemah dan mustahil mampu mengemban tugas besar itu.

Kemungkinan besar R. Wijaya mengangkat Nambi sebagai Patih karena merasa berhutang budi kepada Arya Wiraraja yang berhasil memasukkan Wijaya ke keraton Jayakatwang, padahal Wijaya adalah menantu Kertanegara (Raja Singosari) yang dibunuh oleh Jayakatwang. Dan berkat jaminan Wiraraja pula, Wijaya diperbolehkan membuka hutan Tarik yang menjadi cikal bakal kerajaan Majapahit.

Budaya asli bangsa memang mengajarkan untuk membalas setiap kebaikan yang telah dilakukan orang kepada kita. Hal seperti ini merupakan kewajiban moral yang tidak mungkin dilupakan begitu saja. Namun dalam kasus ini, sebagai pemimpin bangsa Wijaya justru melupakan aspek lain dalam hal pengangkatan dan penempatan aparatur negara, yaitu aspek ketrampilan dan kemampuan (sumber daya) manusia. Agaknya Wijaya lebih menonjolkan unsur perasaan dan persaudaraan dibanding ketepatgunaan dan kedayagunaan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Inilah masalah kepemimpinan yang mula-mula sekali muncul. Barangkali Wijaya menyangka bahwa kebijaksanaannya akan dapat menjaga persatuan dan menghindarkan dari rasa ketidakpuasan para pembantunya, tetapi ternyata justru menimbulkan pertikaian.

Pada tahun Saka 1222 atau 1300 M, timbul lagi “pemberontakan” yang dipimpin oleh Lembu Sora, paman Ranggalawe, sebagai akibat fitnah yang dilancarkan Dyah Halayuda atau Mahapati.

Saat terjadinya pemberontakan Ranggalawe, Kebo Anabrang diperintahkan untuk menghadapi dan menghancurkan pemberontakan itu. Dan memang, Kebo Anabrang akhirnya berhasil membunuh Ranggalawe di Sungai Brantas (?). Demi melihat keponakannya terbunuh, marahlah Lembu Sora yang kemudian berhasil membunuh Kebo Anabrang. Raden Wijaya sendiri tidak mengambil tindakan pidana atas perbuatan Lembu Sora.

Keadaan ini dimanfaatkan oleh Mahapati untuk mengail di air keruh. Kepada raja dikatakan bahwa para Menteri Kerajaan tidak puas dengan sikap R. Wijaya karena membiarkan Lembu Sora yang membunuh Kebo Anabrang. Oleh karena itu, demi keadilan, Lembu Sora harus dihukum. Lembu sora sendiri pasrah terhadap putusan raja dan berniat untuk menyerahkan diri. Akan tetapi oleh Mahapati difitnah bahwa Sora akan memberontak. Atas dasar laporan ini maka R. Wijaya mengambil tindakan “pembersihan” terhadap Sora dan kelompoknya. Merasa mendapat perlakuan yang tidak fair, para pengikut Sora seperti Juru Demung dan Gajah Biru malahan meneruskan gerakan hingga tahun 1314 M.

Disini terjadi lagi krisis kepemimpinan. Seorang pemimpin mestinya bersikap netral dan berdiri diatas semua golongan yang ada di negerinya. Ini mengandung pengertian bahwa pemimpin tidak boleh menelan begitu saja keterangan-keterangan dari suatu golongan mengenai golongan yang lain. Pemimpin harus mau dan mampu melihat, mendengar dan merasakan keluhan, penjelasan maupun fakta-fakta dari dua atau lebih arah yang berbeda, serta menerapkan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) sebelum menjatuhkan vonis atas suatu perkara.

Pada masa pemerintahan Jayanegara (Saka 1231 - 1250 atau 1309 - 1328 M), tepatnya pada tahun 1316 M, timbul pemberontakan yang dipimpin oleh Nambi dengan dibantu oleh Wiraraja dan sebagian menteri Majapahit. Pemberontakan inipun akibat dari fitnahan Mahapati, yang dalam Kitab Pararaton disebutkan sebagai tokoh yang sangat menginginkan jabatan Patih Amangkubumi dan tipe pemimpin yang tidak baik, sumber fitnah dan adu domba.

Pada tahun Saka 1241 (1319 M), terjadi lagi pemberontakan paling serius yang dipimpin oleh Kuti. Pasukan Kuti dapat merebut kerajaan, sehingga Jayanegara dan pengikutnya melarikan diri ke desa Badander. Namun berkat kesigapan Bekel Gadjah Mada, kekacauan ini dapat teratasi. Dan setelah usainya pemberontakan Kuti, barulah diketahui bahwa semua itu akibat perbuatan Mahapati, yang waktu itu sudah berhasil mencapai ambisinya menduduki jabatan Patih Mangkubumi. Mahapati akhirnya dihukum mati secara cineleng-celeng (dicincang).

Disini terlihat bahwa meskipun kasus tersebut tidak secara langsung berhubungan dengan kualitas kepemimpinan, tetapi jelas terdapat sesuatu yang kurang beres dalam sistem pemerintahan Majapahit. Tumbuh suburnya duri dalam daging atau musuh dalam selimut seperti Mahapati pastilah disebabkan oleh administrasi kenegaraan yang tidak tertib, tidak disiplin dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kemungkinan lain, pada saat itu budaya Asal Bapak Senang sudah mendapatkan tempat yang nyaman dihati penguasa, sehingga siapa yang pandai memutar lidah dan fakta, serta dapat menyenangkan hati raja, dialah yang akan selalu memperoleh “ganjaran” dari sang raja.

Pemberontakan-pemberontakan diatas apabila kita kaitkan dengan pembahasan bab I dan II, tidak dapat dikategorikan kedalam gerakan yang bersifat Ratu Adil, karena tidak mengemban amanat keagamaan dan bukan merupakan gerakan yang ditunggu-tunggu kedatangannya oleh rakyat, tetapi karena dorongan-dorongan pribadi terutama yang berhubungan dengan ambisi politis. Selain itu, pemberontakan itu tidak lahir dari keadaan-keadaan disharmoni, justru mengakibatkan kekacauan berkepanjangan yang memberi andil bagi disintegrasi kerajaan.

Jayanegara yang dalam kepustakaan sejarah digambarkan sebagai raja yang berperangai buruk, meninggal pada tahun 1328 M karena dibunuh oleh tabib kerajaan yang bernama Tanca. Seperti diketahui, Tanca sebenarnya masih satu keluarga dengan Kuti yaitu keluarga Dharmaputra, sehingga -- betapapun kecilnya -- mau tidak mau dalam hatinya pasti tertanam rasa benci kepada Jayanegara. Hal ini sangat disadari oleh Gadjah Mada, sehingga saat raja sakit bisul, Tancalah yang dipanggil untuk “mengobati”. Dan sesaat setelah berhasil “menunaikan tugasnya”, giliran Gadjah Mada yang “memberesi” Tanca dengan tuduhan membunuh raja. Ini merupakan taktik yang sangat jitu dalam mengakhiri kekuasaan Jayanegara tanpa timbulnya gejolak.

Tahta kerajaan beralih kepada Tribhuwanatunggadewi. Ia dibantu oleh suaminya Kertawardhana, dan Gadjah Mada sebagai patih. Pada tahun 1350 M, Tribhuwanatunggadewi turun tahta dan diganti oleh putranya yang bernama Hayam Wuruk atau Rajasanegara. Pada masa raja Hayam Wuruk dan patih Gadjah Mada inilah Majapahit mencapai puncak kemegahannya, dengan semboyan patihnya yang sangat terkenal : Sumpah Palapa.

Akan tetapi semenjak Gadjah Mada meninggal pada tahun Saka 1286 (1364 M), timbul kesulitan untuk memilih siapa yang dapat menggantikan kedudukannya sebagai patih, dan ternyata tidak seorangpun yang mampu. Apalagi dengan meninggalnya Hayam Wuruk pada tahun 1389 M, maka timbullah krisis kepemimpinan yang sangat memprihatinkan sekaligus menegangkan, yaitu terjadinya pertentangan antara Wirabhumi dengan Wikramawardhana, menantu Hayam Wuruk. Agaknya sudah menjadi kehendak sejarah bahwa Majapahit harus mengalami peristiwa-peristiwa “berdarah” yang mengantarkan kepada kehancurannya.

Keadaan tersebut menunjukkan tidak terbinanya regenerasi dengan baik. Para pemimpin Majapahit terlena terhadap impian mewujudkan kesatuan seluruh wilayah nusantara, tetapi melupakan pendidikan dan pelatihan kader-kader pemimpin yang berkualitas. Paling tidak, ini membuktikan pula bahwa pandangan politik Majapahit waktu itu memiliki dua kelemahan, yaitu pertama bersifat kekinian dan tidak mempertimbangkan aspek futuristik-nya (prospek masa depan), dan kedua tidak dibudayakannya nation building dan institusional building.

Pertentangan antara Wirabhumi dan Wikramawardhana mulai timbul pada tahun Saka 1323 (1401 M). Kemungkinan besar hal itu terjadi karena Bhre Wirabumi sebagai anak Hayam Wuruk meskipun dari selir, merasa lebih berhak menduduki tahta kerajaan dari pada Wikramawardhana (Bhre Hyang Wisesa). Seperti kita ketahui, Wikramawardhana adalah anak dari adik Hayam Wuruk yaitu Bhre Pajang Rajasaduhiteswari, yang dikawinkan dengan putri mahkota Kusumawardhani. Namun demikian, yang memerintah dan mengendalikan kerajaan bukan Kusumawardhani melainkan suaminya.

Menurut Pararaton, pada tahun Saka1326 (1404 M) antagonisme antara Wikramawardhana yang berkedudukan di Majapahit dengan Wirabhumi yang berkedudukan di Blambangan berkembang menjadi peperangan terbuka. Dalam perang itu mula-mula Kedaton kulon atau Majapahit menderita kekalahan, namun setelah mendapat bantuan Bhre Tumapel (Bhre Hyang Parameswara), Kedaton Wetan (Blambangan) dapat dikalahkan. Bhre Wirabhumi melarikan diri, dikejar oleh R.Gajah (Bhre Narapati), dan setelah tertangkap lalu dipenggal kepalanya. Peristiwa ini dalam serat Pararaton disebut Paregreg. Meninggalnya Bhre Wirabhumi tidak berarti selesainya pertikaian, justru merupakan benih timbulnya balas dendam.

Setelah Wikramawardhana meninggal tahun 1429 M, ia diganti oleh anaknya yaitu Suhita (1429 - 1447). Suhita adalah anak Bhre Hyang Wisesa sebagai hasil perkawinan dengan Bhre Mataram, anak Wirabhumi. Jadi pengangkatan Suhita secara politis dimaksudkan untuk meredakan persengketaan. Namun Kitab Pararaton memberitakan bahwa pada tahun Saka 1355 (1433 M), R. Gajah dibunuh karena dituduh telah memenggal Wirabhumi. Peristiwa ini menunjukkan bahwa persengketaan dinasti Majapahit terus berlangsung.

Demikianlah, persengketaan yang berlangsung terus-menerus mengenai masalah kepemimpinan negara dan perebutan kekuasaan, telah mengakibatkan semakin rapuhnya Majapahit, dan ditambah pula oleh perkembangan-perkembangan baru didaerah pesisir utara Jawa, akhirnya masa keemasan Majapahit tidak dapat dipertahankan lagi sampai pada keruntuhannya tahun Saka 1400 (Sirna Ilang Kertaning Bumi).

Belajar dari pengalaman Majapahit, maka organisasi pemerintahan dan kenegaraan Indonesia yang ada sekarang, hendaknya selalu memperhatikan benar masalah kepemimpinan nasional. Artinya, baik dilihat dari kualitas atau kecakapannya ; moralitas atau perilakunya ; serta rasa tanggung jawab, kerjasama dan kejujuran, sangat perlu untuk ditegakkan demi jayanya organisasi kenegaraaan sertra kemasyarakatan yang kita cintai bersama.

bahan iktibar bersama?

Mak

Suasana damai yang ada didesa pinggiran kota serabisa tak bisa dirasakan oleh emak, pasalnya anaknya kini lebih sering ngalamun, emaknya pun haran apa yang terjadi dengan anak semata wayangnya. Butiran kecil keluar dari kelopak matanya tat kala melihat anaknya seperti berubah drastic sperti itu.

“ jang kenpa kau melamun” Tanya emak.

“ gak da papa mak” jawab ujang. sambil terus sibuk memainkan mobil-mobilan pemberian dari ayahnya waktu ia ulang tahun yang ke satu dan mainan itu yang sepanjang hair menemani ujang melewati masa kecinya

“ ya udah jangan melamun terus , nanti ada setan yang masuk, mak lagi yang repot” sambil berlalu emak melanjutkan masknya.

Sebenarnya ujang anak yang cerdas dan pintar bahkan kepintarannya melebuihi teman seusianya akan tetapi Semenjak ditinggal bapaknya yang meninggal beberapa tahun yang lalu karena penyakit yang bersarang ditubuh tua ringkihnya. Katannya dokter sih penyakita oaring miskin, tapi karena tidajk bisa beli obat, akhirnya tubuh tuany tidak mampu menahan lagi penyakit itu.

Ujang jadi sering melamun dan kadang dia bicara sendiri seperti orang gila bahkan kadang mgejar orang yabg sedang lewat di depan rumahnya.

Entah apa yang dilamuninnya, setiap dittany emaknya, ujang hanya menjawab “ gak da papa”

Tapi kalo sedang kambuh “ia hanya tersenyum dengan tatapan mata yang kosong.

Sudah tak terhitung orang pintar yang didatanginya namun semuanya tidak membawa hasil yang positif bahkan harta peninggaln suaminya kini telah habis terjual untuk membiayai pengobatan ujang. Kini tinggal perabotan tua yang tak laku dijual. Untuk menyambung hidup emak membuat gorengan untuk dijual ,akan tetapi kenaikan harga minyak yang emak dengar dari radio tuanya menambah kesengsaraan emak, sekarang untuk beli beras satu liter saja mereka tak punya uang sepeserpun.

“ berapa bu sekarang harga minyak satu liter?” Tanya emak kepada penjual minyak di pasar

“ Rp 7000 bu” jawab sipenjual minyak

“ semakin hari kok gak ada perbaikan ekonomi,dimana pemempin dulu yang dalam kampanyenya mau meningkatkan perekonomian huh “keluh emak

“ jadi beli gabu” Tanya pennjual minayk sampai emak kaget

“ e …. e ….. gimana ya bu”

“ lho kok malah balik Tanya”

“ habis mahal banget bu”

“kalo beli secipuk bisa gak bu” Tanya emak lagi

“ waduh ibu ini , ya gak bisalah bu,”jawab penjual dengan sewotnya

“ klo gak mau beli masihn ada pembeli yang lain kok” cetus penjual minyak

“ ya dah bu, gak jadi uang saya tidak cukup.”

Itu sebuah cerita uneg-uneg aja jangan dianggap serius tapi klo mang dianggap serius ya itulah yang terjadi.

Jumat, 30 Mei 2008

Transparansi Informasi Pintu Pemberantasan Korupsi

Nur Rokhim (mahasiawaFKIP-JPOK-UNS dan saat ini masih aktif di PMII KOTA SURAKARTA)

KPU SOLO, selasa (5/7), menetapkan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan suara, dari hasil rekap itu di ketahui pasangan Joko Widodo-FX Rudyatmo memperoleh suara terbanyak dengan memperoleh 99.961 suara mengungguli ketiga calon walikota dan calon wakil walikota yang lain dan dengan hasil tersebut pasangan calon walikota dan calon wakil walikota yang diajukan PDI-P dapat dipastikan menjadi orang nomor satu dan nomor 2 di kota Solo.

Banyak hal yang bisa disebut sebagai faktor kemenangan mereka. Visi dan misi yang mereka usung dalam masa kampanye yang mampu menarik simpatik masyarakat untuk memilih mereka dalam coblosan, 27 Juni yang lalu. Kini usaha itu sudah terelisasikan dan dalam kurun waktu dekat ini mereka akan dinobatkan sebagai AD I/II masa bakti 2005-2010.

Saat ini dan beberapa waktu ke depan, seluruh warga masyarakat solo menunggu dengan penuh harap langkah apa yang akan ditempuh oleh calon pasangan tersebut. Timbul pertanyaan apakah dengan kepala daerah yang baru dan secara otomatis dengan langkah baru pula, wajah dan kondisi solo akan berubah menjadi lebih baik, stagnan ataukah justru mengalami kemunduran ?

Melihat pertanyaan diatas tidak ada waktu lagi bagi pasangan terpilih untuk berlarut-larut dalam kegembiraan. Langkah dan strategi untuk memajukan kota solo harus secepatnya disusun. Beruntunglah bagi Kota Solo yang mempunyai pasangan terpilih yang memprioritaskan masalah pemberantasan korupsi sebagai langkah awal pemerintahannya setidaknya itulah yang termaktub dalam agenda 100 hari pemerintahannya.

Kata korupsi menjadi kata yang tidak pernah terlewatkan dan bahkan mungkin sering digunakan di media massa, dalam beberapa pekan terakhir ini. Terutama, sejak terbongkarnya kasus penyelewengan dana APBD 2003 yang melibatkan mantan anggota dewan periode 1999-2004.

Pasangan terpilih, sepertinya (ingin) menunjukkan keseriusan yang kian nyata dalam upayanya memberantas dan memerangi korupsi dengan slogan mewujudkan kota solo yang “Berseri Tanpa Korupsi” setidaknya itulah yang mereka usung dalam masa kampanye. Namun banyak pula yang menganggap slogan itu hanya sekadar “retorika” saja yang digunakan untuk menarik para simpati, mendulang suara. Tapi, tidak sedikit pula yang memandang positif, paling tidak adanya usaha untuk meberantas korupsi. Rasanya, ketimbang selalu memandang sinis (disertai rasa ketidak kepercayaan), akan lebih baik dan bijak kalau setidaknya kita memberi kesempatan kepada pasangan terpilih untuk membuktikan bahwa apa yang sedang dan akan dilakukan ini memang benar-benar bukan sekadar “retorika”. Tulisan berikut dimaksudkan sebagai partisipasi, memberi sumbang saran bagi perencanaan Kota Solo tercinta ini.

Langkah pertama yang harus dilakukan untuk merealisasikan Kota Solo “Berseri Tanpa Korupsi“ seperti apa yang mereka dengung-dengungkan ke telinga masyarakat selama masa kampanye, menurut penulis adalah membuka informasi publik. Selama ini masyarakat apatis kalau korupsi dapat diberantas karena tidak pernah ada good will dari birokrasi untuk memperbaiki diri, yang masyarakat bisa turut serta melakukan pengawasan. Untuk mendapatkan dokumen-publik dengan cara formalpun sangat kesulitan. Hanya mereka yang kebetulan memiliki kedekatan dengan anggota legislatif ataupun eksekutif yang mampu mendapatkan.

Upaya untuk memayungi tindakan ini sedang diusulkan oleh DPR melalui hak inisiatif dalam bentuk RUU Kebebasan Informasi Publik (SOLOPOS, 6/7). Kebebasan memperoleh informasi publik merupakan salah satu pilar penting dalam penegakan demokrasi dan masyarakat sipil di Indonesia, lebih lebih untuk menegakkan birokrasi yang bebas dari korupsi. Langkah ini strategis, karena visi “Berseri Tanpa Korupsi” yang ditawarkan pasangan cawali terpilih ini belum dimintakan persetujuan kepada birokrasi yang nantinya akan menjadi pembantu pasangan terpilih untuk menegakkan roda pemerintahan.

Penegakan “birokrasi yang berseri tanpa korupsi” bukan serta merta akan berjalan mulus, karena sebagaimana menjadi rahasia umum birokarasi ini cenderung korupsi. Banyak kasus “penilapan” keuangan daerah yang dilakukan oknum orang dalam. Misal, diantara kepala dinas melakukan wan prestasi dalam upaya meraih jabatan, belum lagi dalam perekrutan PNS, dimana seorang calon PNS ditawari menjadi PNS dengan harus menyediakan sejumlah uang. Tidak adanya transparansi keuangan ke publik dan keadaan itu pun masih diperparah dengan adanya kompetisi antarbirokrasi yang sama sekali tak mengikutkan kaedah-kaedah manjemen modern Jika walikota baru main potong, maka akan ada barisan birokrasi yang membentuk barisan sakit hati dan bahkan akan melakukan pembusukan dari dalam. Agar upaya pemberantasan korupsi ini mendapatkan pengawasan dan dukungan dari masyarakat sekaligus meminimalisir bahasa munculnya barikan sakit hati maka membuka informasi pemerintahn kepada publik menjadi keniscayaan.

Bagi koruptor yang terbukti melakukan setelah walikota terpilih melakukan disiplin ini maka pantas bagi sang koruptor diberi tuntutan, bahkan dalam keadaan tertentu dapat diberlakukan tuntutan mati dan tuntutan tersebut dibenarkan oleh undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi. Setidaknya kejaksaan harus berani mengajukan tuntutan maksimal terhadap koruptor. Di RRC pemerintah tak segan –segan “menebaskan pedang” pada leher sang koruptor.

Sekali lagi, untuk memberantas korupsi yang sudah mengakar dan “membudaya” ini tidak bisa dihilangkan dalam waktu satu atau dua hari, satu atau dua minggu, satu atau dua bulan, bahkan satu atau dua tahun sekalipun, diperlukan waktu yang lebih untuk usaha pemberantasan korupsi dan usaha tersebut tidak akan terlaksana tanpa adanya dukungan masyarakat terhadap kasus korupsi ini. Perlahan namun pasti, melalui hukum tegas bagi koruptor, mudah-mudahan akar-akar itu bisa tercabut dan korupsi bisa dihilangkan dari tanah air Indonesia pada umumnya dan kota Solo ini pada khususnya.