Kamis, 10 Januari 2008

WAJAH PENDIDIKAN

Wajah Pendidikan Indonesia: Membangun Paradigma Pendidikan Nasioanal

Oleh: Nur Rokhim*

Ksisis multidimensional selama kurun waktu hampir tiga dasawarsa yang melanda bangsa Indonesia membuka mata kita tentang mutu sumber daya manusia Indonesia, ketika ngomong tentang SDM berarti juga memebicarakan mutu dunia pendidikan bangsa Indonesia. Factor penyebab krisis memang banyak akan tetapi pondasi atupun factor yang sangat berperan adalah kurang bermutunya SDM kita. SDM kita kurang professional dan terkadang berbuat secara amoralitas.. Cita-cita awal didirikan bangsa Indonesia salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dalam kenyataannya dan seiring berjalannya waktu mencerdaskan kehidupan bangsa hanya sekedar retorika yang termaktub dalam pembukaan UUD1945.
Ketika diruntut latar belakang permasalahan yang terjadi di dunia pendidikan ada beberapa permasalahan bagi penulis yang menjadi penyebab kemunduaran dunia pendidikan indonesia,yaitu: tata kuasa pendidikan,tata kelola pendidikan dan tata guna pendidikan. Dalam tata kuasa pendidikan Indonesia yang berperan untuk menentukan kebijakan bukan Negara akan tetapi kekuasana supra struktur yang mengendalikan kebujakan-kebijkan pendidikan, ataupun ketika ada sebuah perubahan dibidang pendidikan tak lepas dari sebuah settingan pasar, banyak kebijakan yang hanya dijadikan sebagai hidden project/ proyek terselubung sebagai suatu contoh perubahan kurikulum pendidikan dari kurikulum yang pertama (1968) hingga yang kelima (2004/kurikulum berbasis kompetensi), praksis pendidikan bukannya sebagai bagian dari nation and character building sebagaimana dirintis Perguruan Tamansiswa (1922), tetapi malah digunakan sebagai impuls kepentingan politik praktis. Tidak salah kalau berbagai fase kurikulum itu hanya bisu sebagai hidden curriculum, kurikulum yang belum dipraktikkan sebagai pedoman kegiatan belajar di sekolah. Dari sini terlihat jelas, praksis pendidikan kita tidak visioner, mandek, dan sering ditelikung oleh kepentingan sesaat sehingga tidak mengherankan walaupun dalam Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945 telah ditetapkan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD, tetap saja sampai sekarang belum terealisasi, tersendat di persimpangan jalan yang berliku. Bukan tidak mungkin itu hanya akan menjadi lipstik politik dalam melanggengkan kekuasaan. Padahal, 20% belumlah signifikan, terlebih negara-negara ASEAN saat ini sedang marak-maraknya meningkatkan taraf kualitas pendidikan. Kalau 20% masih sebatas wacana, bagaimana nasib pendidikan di masa depan? Pasti lebih mengenaskan. Karena persoalan pendidikan di orde reformasi sekarang sangat kompleks. Apalagi di tingkat universitas. Terjadinya komersialisasi dan macdonalisasi pendidikan membuat kaum miskin pinggiran terlempar di jurang kepedihan. Walaupun mereka lolos SPMB, karena tidak mampu membayar biaya pendaftaran yang selangit, akhirnya harus angkat kaki dari lingkungan kampus. Inilah malapetaka yang akan menjebol dan memorak-porandakan kemajuan bangsa.
Permasalahan yang kedua dalam tata kelola pendidikan yang masih carut marut, memang dalam kurun waktu hampir tiga dasawarsa ada peningkatan secara kuantitatif dalam dunia pendidikan yang berkembang pesat Pada tahun 1965 jumlah sekolah dasar (SD) sebanyak 53.233 dengan jumlah murid dan guru sebesar 11.577.943 dan 274.545 telah meningkat pesat menjadi 150.921 SD dan 25.667.578 murid serta 1.158.004 guru (Pusat Informatika, Balitbang Depdikbud, 1999) coba bayangkan unutuk saat ini pasti lebih dari itu,akan tetapi peningkata secara kuantitatif tidak disertai dengan peningkatan kualitas dan tata kelola pendidikan yang mengakibatkan munculnya ketimpangan- ketimpangan dalan dunia pendidikan dimasyarakat dan yang sangat menonjol adalah: a) ketimpangan antara kualitas output pendidikan dan kulifikasi lapangan pekerjaan; b) ketimpangan antara kulitas pendidikan yang di kota dan di desa, yang jawa dan yang luar jawa antara si miskin dan si kaya.
Selain tata kuasa pendidakn ,tata kelola pendidikan masih ada satu lagi penyebab merosotnya kualitas pendidikan di Indonesia yaitu tata guna pendidikan, sistem persekolahan kita yang cenderung mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik apa yang disebut dengan the dead knowledge yaitu pengetahuan yang bersifat text-bookish atau dengan kata lain peserta didik hanya mereproduksi pengetahuan dari gurunya bukanya memberikan kebebasan kretivitas pada peserta didik.
Berbagai daya dan upaya untuk meningkatkan kualitas pendidkan Indonesia telah dilakukan akan tetapi belum signfikan memperbarui pendidikan yang kian terpuruk. Secara co-vadis pendidikan indoneisa mencetak bangsa mandiri yang membentuk karakter bangsa Indonesia. Sebenarnya pembaharuan pendidikan yang masih gagal tidak hanya terletak pada system pembaharuan kurikulum yang bongkar pasang akan tetapi lebih mendasar pada penentu kebijakan yang masih mengekor pada kebijkan yang sudah usang yang memfokuskan guru (pedagogic) sebagai pusat pendidikan bukannya memfokuskan pada peserta didik (andragogik). Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo mengatakan dalam lokakarya pendidikan di UPI (19/4/2005), paradigma sumber daya manusia tidak lagi relevan dipergunakan dalam bidang pendidikan. Menu-rutnya, yang sekarang menjadi acuan bagi dunia pendidikan adalah paradigma manusia seutuhnya. Terkait dengan perubahan peserta didik dijadikan sebagai subjek ada perubahan paradigma pendidikan dari pengajaran menjadi pembelajaran sehingga akhirnya output pendidikan akan tercipta ruang krativitas, enterpreunership yang pada akhirnya akan membentuk karakter bangsa yang mandiri yang dapat berdidekari seperti cta-cita awal pemimpin bangsa Indonesia. AMIN
Tangan Terkepal dan Maju

REVITALISASI ATLET

Meskipun agak terlambat tapi setidaknya tulisan ini merupakan keprihatinan penulis terhadap perkembangan olahraga Indonesia. SEA GAMES XXIV telah usai dan menempatkan Indonesia di posisi empat besar, dari target posisi memang memenuhi target yang dipatok oleh KONI, akan tetapi dari target perolehan medali emas jauh dari apa yang di targetkan karena dari KONI menargetkan setidaknya 60-70 medali emas yang harus dibawa pulang oleh kontingen Indonesia, bidikan itu meleset karena Indonesia hanya membawa 56 medali emas. sangat ironi melihat capaian tesebut apalagi sebagai sebuah bangsa yang pernah begitu jumawa di asia tenggara perIode tahun 1977-1999 tentunya hasil tersebut jauh dari apa yang diharapkan, terlebih melihat vietnam yang dulu tidak pernah berada di atas indonesia, dalam bebarapa tahun terakhir mulai meninggalkan jauh indonesia, padahal perkiaraan target tentunya dilakukan berdasarkan perhitungan yang cermat terhadap perkembangan kinerja cabang-cabang olahraga sebelum SEA GAMES XXIV digelar, sehingga timbul pertanyaan saya apakah ada yang salah dengan sisitem pembinaan olahraga kita? namun disini penulis tidak akan membicarakan indonesia waktu dulu dan sekarang karena dengan hal itu justru penulis akan terjebak dalam konsep pemikiran yang salah, oleh jalaluddin rakhmat disebut dengan fallacy of dramatic instance, meskipun demikian hasil tersebut tetaplah menjadi kebanggaan tersendiri bagi atlet dan Indonesia tentunya karena diperoleh dengan jiwa sportivitas dan dedikasi yang tinggi untuk mengharumkan nama indonesia di kancah internasional.
Diikutsertakannya atlet-atlet yang sudah berumur merupakan salah satu faktor peyebab dari kemrosotan prestasi indonesia sebagai contoh Richard Sambera dari cabang renang yang sudah berumur 36 tahun masih dipanggil untuk memperkuat kontingen indonesia, Nurhayati dari cabang balap sepeda. Terelepas dari benar salahnya faktor tersebut setidaknya ada pebenahan dari segi pembinaan atlet, menilik perkataan Pak Dedy selaku pelatih tenis nasional pada waktu di wawancarai oleh salah satu tv nasioanal ”menang itu penting tapi yang lebih penting dari itu adalah pembinaan”
“ada yang salah dengan sisitem pembinaan kita. Kita sudah tahu tapi tetap saja kita ogah mempaerbaikinya, kita maunya serba instan. Padahal dalam olahraga pembinaan harus dilakukan sejak usia dini, bisa puluhan tahun bahkan belasan tahun untuk mencetak atlet andal “ kata ketua umum Pengurus Besar Persatuan Atletik Indonesia Seluruh Indonesia (PB PASI). Prestasi olahraga adalah cermin dari bagaimana bangsa menempa atletnya, melihat kenyataan di atas bisa dilihat bagaimana indonesia melakukan pembinaan terhadap atlet-atletnya, banyak kalangan pemerhati olahraga yang berpendapat kemunculan atlet masih didominasi oleh fator kebetulan, meskipun banyak yang menjadi atlet profesional akan tetapi tidak adanya pembinaan yang kontinyu menyebabkan tidak adanya regenerasi yang baik, kebanyakan dilakukan dengan instan sebagai contoh TIM NAS PSSI U-23 yang melakukan try-out sampai ke luarnegeri dengan biaya yang tidak sedikit namun jauh dariapa yang diharapakan, ini membuktikan walaupun dengan fasilitas baik, pelatih yang bagus akan tetapi dilaksanakan dengan waktu yang amat singkat jangankan berlaga dilevel dunia pada level asia tenggara saja mereka kedodoroan, disamping itu sekembalinya mereka ke kompetisi lokal dengan faslitas yang kurang memadai juga merupakan salah satu faktor atlet-atlet indonesia kurang berprestasi dilevel internasional. Namun saat ini sangat naif jika harus ada pihak yang dikambinghitamkan akan lebih baik lagi bila kedepan para pelatih, pemegang kebijakan dan pihak-pihak yang peduli terhadap nasib olahraga indonesia mengambil langlah-langkah apa yang seharusnya dilakukan agar kedepan nasib olahraga indonesia bisa unggul namun untuk itu perlu usaha-usaha yang harus dilakukan.
PEMBINAAN
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pembinaan adalah upaya yang dilakukan agar sedikit lebih maju atau sempurna. Sedangkan pengertian dari pembinaan olahraga adalah upaya yang dilakukan untuk memajukan atau menyempurnakan atlet agar berprestasi dengan baik.
Dalam pembinaan harus menempuh pola yang tepat dan dilakukan dengan tahap-tahap tertentu, sehingga potensi yang dimiliki atlet dapat berkembang secara maksimal. Untuk mencapai prestasi yang maksimal bukan kegiatan mudah, karena semua itu dipengaruhi oleh banyak faktor, memerlukan proses dan waktu yang cukup lama, dana yang cukup, sarana dan prasarana yang memadai, dan juga dukungan dari masyarakat maupun pemerintah.
Menurut M. Furqon H. (2002: 3) ”pembinaan olahraga prestasi biasanya mengikuti tahap-tahap pembinaan yang didasarkan pada teori piramida, yaitu (1) pemassalan; (2) pembibitan; dan (3) pembinaan prestasi”.
1.Pemassalan
Pemassalan merupakan suatu upaya untuk mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat dengan sasaran melibatkan semua kelompok umur. Hal ini seperti yang dikemukakan M. Furqon H. (2002: 3) bahwa ”Pemassalan adalah mempolakan keterampilan dan kesegaran jasmani secara multilateral dan spesialisasi”. Sedangkan Pemassalan menurut Yususf Hadisasmita dan Aip Syarifudin (1996: 36), ialah ”Proses dalam upaya mengikutsertakan peserta sebanyak mungkin supaya mau terlibat dalam kegiatan olahraga dalam rangka pencarian bibit-bibit atlet yang berbakat yang dilakukan dengan cara teratur dan terus menerus”.
Kaitannya dengan olahraga prestasi tujuan pemassalan olahraga yang dilaksanakan antara lain agar masyarakat menyadari pentingnya olahraga prestasi, sehingga akan memunculkan bibit-bibit atlet yang baik. Menurut M. Furqon H. (2002: 3), tujuan pemassalan adalah ”Melibatkan atlet sebanyak-banyaknya sebagai bagian dari upaya peningkatan prestasi olahraga”.
Memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat merupakan bentuk upaya dalam melakukan pemassalan olahraga. Dalam olahraga prestasi, pemassalan seharusnya dimulai pada usia dini.
2.Pembibitan Atlet
Bibit-bibit atlet yang baik mempunyai pengaruh terhadap pencapaian prestasi. Bibit atlet yang baik dan berbakat, maka akan lebih mudah untuk mengembangkan potensi yang dimiliki sampai pada batas kemampuan maksimal. Pengertian Pembibitan atlet menurut M. Furqon H. (2002: 3) adalah ”Upaya untuk mencari dan menemukan individu-individu yang memilki potensi untuk mencapai prestasi olahraga yang setinggi-tingginya di kemudian hari, sebagai langkah atau tahap lanjutan dari pemassalan olahraga”.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembibitan merupakan usaha untuk mendapatkan atlet yang baik dan berbakat. Dimana atlet yang berbakat tersebut nantinya dibina untuk pencapaian prestasi yang setinggi-tingginya.
3.Peningkatan Prestasi
Dalam setiap cabang olahraga prestasi yang maksimal merupakan tujuan utama yang harus dicapai oleh setiap klub atau atlet. Kenyataan menunjukkan bahwa prestasi yang dicapai oleh atlet akan mengharumkan nama atlet itu sendiri serta klub dan juga pelatih yang menanganinya.
Pengertian Prestasi Olahraga itu sendiri menurut M. Furqon H. (2002: 4), ”Merupakan puncak penampilan atlet yang dicapai dalam suatu pertandingan atau perlombaan, setelah melalui berbagai macam latihan maupun uji coba. Kompetisi tersebut biasanya dilakukan secara periodik dan dalam waktu tertentu”.
Pencapaian prestasi yang setinggi-tingginya merupakan puncak dari segala proses pembinaan, termasuk dari proses pemassalan maupun pembibitan. Dari hasil proses pemassalan dan pembibitan, maka akan dipilih atlet yang makin menampakkan prestasi olahraga yang dibina
Pengorganisasian program pembinaan jangka panjang menurut M. Furqon H. (2002: 4) dikemukakan bahwa :
”(1) Masa kanak-kanak berisi program latihan pemula (junior awal) yang merupakan usia mulai berolahraga dalam tahap pemassalan; (2) Masa adolensi berisi program latihan junior lanjut yang merupakan usia spesialisasi dalam tahap pembibitan; dan (3) Masa pasca adolensi berisi program latihan senior yang merupakan usia pencapaian prestasi puncak dalam tahap pembinaan prestasi”.
Dengan program-rogram pembinaan atlet yang baik dan didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai pula maka tidak mungkin bila ditahun –tahun kedepan para atlet indonesia dapat bicara dievent-event olahraga baik ditingkat nasional dan internasional

*Mahasiswa Jurusan Pendidikan dan olahraga kesehatan Universitas Sebelas Maret Surakarta
*KETUA BIDANG II PMII CABANG SURAKARTA